Site icon PinterPolitik.com

AS Masih Terlalu Perkasa untuk BRICS

AS Masih Terlalu Perkasa untuk BRICS

Presiden Rusia Vladimir Putin (kiri), Perdana Menteri India Narendra Modi (tengah), Presiden Tiongkok Xi Jinping (kanan) (Foto: Sputnik/Mikhail Klimentyev)

BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) akan membuat mata uang baru untuk melawan dominasi Dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan internasional. Apakah ini menjadi awal kejatuhan dominasi Dolar AS?


PinterPolitik.com

“Serious issue. US policy has been too heavy-handed, making countries want to ditch the dollar.” – Elon Musk

Perjanjian Bretton Woods pada tahun 1944 menjadi awal atas dominasi Dolar Amerika Serikat (AS) dalam perdagangan internasional. Sebanyak 44 negara menyetujui sistem moneter global dan mata uang cadangan dunia didasarkan pada Dolar AS.

Dalam estimasi Federal Reserve (The Fed) dari tahun 1999 sampai tahun 2019 Dolar AS menyumbang 96% dari faktur perdagangan di AS, 74% di kawasan Asia Pasifik, dan 79% di seluruh dunia.

Diagram cadangan devisa global (Sumber: The Fed)

Namun, krisis keuangan global pada tahun 2007-2008 yang dimulai dari AS menjadi awal baru permainan. Resesi Besar 2008 membuat supremasi Dolar AS semakin dipertanyakan. Krisis itu menjadi momentum berbagai negara yang sedang bangkit untuk lebih berperan dalam panggung internasional.

Sejak saat itu berbagai manuver ekonomi untuk mengurangi dominasi Dolar AS dilakukan. Bank sentral berbagai negara mulai memborong emas untuk mendiversifikasi cadangan devisa. Ada pula Local Currency Settlement (LCS), yakni perdagangan bilateral yang dilakukan dengan mata uang masing-masing negara. Secara khusus, manuver-manuver ekonomi itu dikenal luas dengan de-dolarisasi (de-dollarization).

Founder dan CEO GRIT, Genevieve Roch-Decter, menyebut turning point-nya adalah tahun 2014. Tiongkok dan Rusia dengan tegas ingin mengubah paradigma. Mereka ingin memutus perdagangan dan investasi internasional yang didasarkan pada Dolar AS.

Rusia dan Tiongkok telah menggunakan mata uangnya, yakni Rubel dan Renminbi/Yuan, dalam berbagai perdagangan bilateral. Tiongkok, misalnya, terus mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar dari negara-negara Arab menggunakan Yuan.

Sedangkan Rusia, sejak invasi ke Ukraina, Vladimir Putin menjadi lebih ekstrem dengan memaksa negara yang ingin membeli gasnya dengan menggunakan Rubel.

De-dolarisasi dalam perdagangan Tiongkok-Rusia meningkat tajam setelah invasi Rusia ke Ukraina (Sumber: GRIT Capital)

Terbaru, BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) tengah dalam usaha untuk membuat mata uang baru. Ide yang tercetus sejak Juni 2009 itu dikabarkan akan dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS pada Agustus 2023.

Lantas, apakah usaha BRICS untuk memutus dominasi Dolar AS akan merembet ke seluruh dunia?

Uang Baru atau Yuan?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu untuk dibahas, seberapa besar kemungkinan BRICS berhasil menciptakan mata uang baru?

To be honest, usaha itu kemungkinan besar akan gagal. Pertanyaan mendasarnya, katakanlah diciptakan mata uang X, bagaimana nilainya ditentukan?

Kemudian, Zongyuan Zoe Liu dan Mihaela Papa dalam buku Can BRICS De-dollarize the Global Financial System?, menjelaskan terdapat dua kendala utama kenapa infrastruktur de-dolarisasi yang sedang dikembangkan BRICS belum memungkinkan mereka untuk melepas diri dari dolar AS.

Pertama, beberapa anggota BRICS memiliki hubungan yang lebih dekat dengan AS daripada dengan sesama anggota BRICS. Hal ini terlihat jelas dalam kasus India, dimana AS merupakan rekan dagang terbesarnya.

Sumber: The Economic Times

Kedua, beberapa anggota BRICS, seperti Brasil dan Afrika Selatan, tidak terlalu rentan terhadap sanksi AS dan memiliki ekonomi yang lebih terintegrasi ke dalam sistem Dolar AS dibandingkan sistem lainnya. Ini membuat anggota BRICS tidak memiliki konsensus terkait urgensi untuk memprioritaskan de-dolarisasi.

Meskipun semua anggota BRICS tertarik untuk mengurangi ketergantungan terhadap Dolar AS, tetapi tidak semuanya ingin lepas dari sistem keuangan global yang dipimpin oleh Paman Sam. Sebagian besar anggota BRICS masih menyimpan sejumlah besar aset Dolar AS dalam cadangan devisanya, sehingga pelemahan Dolar AS akan menimbulkan kerugian bagi mereka.

Oleh karenanya, daripada membuat mata uang baru, lebih masuk akal bagi BRICS untuk memaksimalkan Local Currency Settlement (LCS). Namun, jika harus memilih satu mata uang, Yuan atau Renminbi dapat menjadi pilihan yang bagus.

Alasannya sederhana, karena Tiongkok adalah kekuatan ekonomi dunia terbesar setelah AS. Dalam pertukaran global, Rupe beredar sebesar 1,6 persen. Sedangkan Renminbi sebesar 2 persen. Terkait Rubel, itu bukan pilihan bagus karena ekonomi Rusia cukup rentan akibat agresi militer.

Uang adalah Kepercayaan

Sekarang, kita akan menjawab pertanyaan pamungkas. Apakah BRICS mampu menciptakan efek domino untuk memutus dominasi Dolar AS?

Jika bicara perandaian, mungkin itu bisa-bisa saja. Kekuatan ekonomi BRICS terbilang besar. Mereka menyumbang 24 persen dari PDB dunia. Aktivitas de-dolarisasi BRICS tidak hanya akan berdampak pada hubungan keuangan antar-BRICS, tetapi juga menciptakan efek riak secara global.

Namun, kembali pada pemaparan Liu dan Papa sebelumnya, masih terlalu jauh untuk mengatakan BRICS dapat memutus dominasi Dolar AS. Alasan utamanya sangat mendasar dan filosofikal, yakni kepercayaan (belief).

Bapak kapitalisme Adam Smith mengatakan, “All money is a matter of belief”. Nilai uang didasarkan pada kepercayaan kita terhadapnya. Dengan Dolar AS dan Euro masih mendominasi cadangan devisa global, apakah AS dan negara-negara Eropa mau perdagangan dan investasinya didasarkan pada mata uang yang disepakati oleh BRICS?

Sentimen terhadap Tiongkok dan Rusia di AS dan Eropa sangat negatif. Dalam beberapa tahun terakhir Tiongkok terlibat perang dagang dengan AS. Kemudian, tidak hanya karena barang tiruannya menghujani pasar global, Tiongkok juga dicitrakan sebagai negara mata-mata.

Sementara Rusia tidak perlu diperjelas lagi. Aktivitas militernya yang agresif membuat geram hampir seluruh negara di dunia. Sangat sulit membayangkan AS dan Eropa menyandarkan ekonominya pada kedua negara tersebut.

Ada pula perbedaan nilai yang tajam. Tiongkok dan Rusia berada di kubu non-demokratis dan otoriter. Sementara AS dan Eropa adalah kubu demokratis dan liberal. Perbedaan nilai itu menimbulkan pembelahan meluas hingga ketegangan ekonomi.

Singkatnya, merangkum berbagai variabel yang ada, secara cukup meyakinkan dapat dikatakan bahwa Dolar AS masih terlalu perkasa untuk ditundukkan oleh BRICS. AS masih menjadi pemain utama dalam panggung internasional, baik dalam sektor ekonomi maupun politik. (R53)

Exit mobile version