Rishi Sunak baru saja dilantik untuk menggantikan Liz Truss sebagai Perdana Menteri (PM) Inggris. Impresi, penerimaan politik Sunak yang merupakan keturunan India tampak serupa dengan Anies Baswedan. Benarkah demikian?
Atmosfer politik Inggris tampaknya masih mengalami kekacauan semenjak negara itu memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa sejak referendum diserukan pada tahun 2016 lalu. Fenomena itu tampak menimbulkan perpecahan di antara partai politik (parpol), bahkan di internal mereka sendiri, sekaligus mengubah arah kebijakan luar negeri, ekonomi, dan perdagangan Inggris.
Masalah itu pun turut memicu pergantian perdana menteri (PM) Inggris selama empat kali dalam kurun waktu enam tahun.
Setelah Liz Truss tak mampu untuk mengendalikan “kiamat” ekonomi Inggris, Rishi Sunak diangkat menjadi Perdana Menteri (PM) untuk menggantikan Truss yang menyatakan mundur di hari ke-45 menjabat.
Sunak merupakan orang India-Inggris pertama yang berhasil dipilih oleh parlemen di negeri monarki itu. Identitasnya sebagai orang kulit hitam pertama yang memimpin negara yang mayoritas berkulit putih itu menjadi highlight berita di berbagai media-media internasional.
Tidak bisa dipungkiri bahwa ras memegang peranan penting dalam politik, misalnya saja preferensi masyarakat Indonesia untuk memilih presiden Jawa. Preferensi itu bisa jadi menjadi suatu senjata untuk melemahkan lawan politiknya.
Misalnya ketika Politikus PDIP Ruhut Sitompul “menyindir” proses akad nikah bernuansa Jawa-Betawi putri Mantan Gubernur DKI Anies Baswedan yang dilakukan beberapa waktu silam. Dirinya menyebut Anies hanya mengaku-ngaku asli Yogya, padahal memiliki keturunan Arab.
Fenomena ini menjadi suatu hal yang menarik dimana Anies yang memiliki darah Arab mampu terpilih melalui pemilihan umum (pemilu) di negara demokrasi. Artinya, Anies mudah mendapatkan penerimaan dan kepercayaan dari unsur masyarakat meskipun dirinya bukan sepenuhnya orang Indonesia asli.
Lantas, apakah jalan Sunak sebagai kaum minoritas Inggris dapat berjalan semulus Anies?
Identitas Selalu Melekat?
Fakta bahwa Sunak merupakan politisi Asia berkulit hitam kerap membuat dirinya dicap sebagai imigran seperti kakeknya. Padahal, lahir di Southampton, Inggris dan di negara tersebut pula dia dibesarkan sehingga pantas jika dia dijuluki orang India-Inggris.
Misalnya saja, ketika pihak oposisi mengkritik dirinya yang tidak paham orang Inggris dan menjulukinya sebagai imigran.
Terlebih, ketika dirinya terpilih sebagai PM Inggris, masyarakat India menyambut berita itu. Bahkan PM India Narendra Modi menganggap pencapaian tersebut sebagai sebuah “hadiah” di Hari Diwali.
Meskipun demikian, pencapaiannya pantas dianggap sebagai sejarah baru. Pada artikel berjudul Sunak’s Ascent Is a Breakthrough for Diversity, With Privilege Attached yang ditulis oleh Megan Specia dan Isabella Kwai, Sunak dinilai berhasil menjadi simbol keberagaman (diversity) di Inggris.
Layaknya istilah two in one dalam sebuah produk yang merujuk pada kombinasi dinamin antara kulit berwarna dan agama minoritas, latar belakang identitas sosial yang melekat pada dirinya tidak akan bisa dilepaskan.
Fenomena ini sesuai dengan teori identitas sosial yang diungkapkan oleh Henri Tajfel dan John Turner. Keduanya menyatakan bahwa seorang anggota masyarakat akan melakukan komparasi sosial sebagai dasar untuk melakukan kategorisasi sosial.
Jika seseorang merasa memiliki nilai yang sama dengan kelompok-kelompok sosial, dia akan menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut.
Lantas, apakah simbol keberagaman identitas sosial Sunak dapat dikatakan layak dan mampu mengatasi isu minoritas terutama rasisme di negara itu?
Tak Menjamin Kesetaraan?
Berbicara soal identitas sosial, pencapaian Sunak secara tidak langsung telah membawa harapan besar bagi kaum minoritas di Inggris untuk mendapatkan kesetaraan terhadap kaum minoritas dan menekan perlakuan rasisme terutama bagi warga kulit hitam.
Nyatanya, pemimpin yang memiliki identitas sosial sebagai kaum minoritas belum tentu mampu mewujudkan harapan tersebut. Ini dapat dilihat dari pemerintahan Barack Obama dan Kamala Harris.
Pada buku Obama on Our Minds: The Impact of Obama on the Psyche of America khususnya dalam pembahasan Chapter 6 terkait “The Obama Effect on Racial Attitudes: A Review of the Research” yang diulas oleh Curtis A. Thompson dan Lori A. Barker, dijelaskan bahwa ketika Barack Obama yang memegang ideantitas sebagai teladan positif yang menentang stereotip negatif orang Afrika-Amerika nyatanya tidak cukup mampu untuk menghapus rasisme.
Di samping itu, dengan dipilihnya Wakil Presiden (Wapres) Kamala Harris juga dinilai tak cukup mampu untuk menghapus rasisme terutama ketika Covid-19 berubah menjadi pandemi dunia.
Akibat lonjakan kasus Covid-19 di seluruh dunia, pun muncul lonjakan kekerasan anti-Asia secara nasional di Amerika Serikat. Pada akhirnya, Biden menetapkan Undang-Undang Kejahatan Kebencian Covid-19 untuk meredam rasisme melalui penguatan pelaporan dan respons pemerintah terhadap kasus itu.
Menurut laporan seorang aktivis sejak Maret 2020 hingga tahun 2021, jumlah kekerasan yang mencapai hampir 3.800 insiden telah dilaporkan ke Stop AAPI Hate, pusat pelaporan berbasis di California untuk orang Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik, serta kelompok advokasi mitranya.
Keduanya cukup membuktikan bahwa pemimpin yang berasal dari kaum minoritas maupun berkulit hitam sekali pun tidak serta merta menjadi senjata ampuh untuk meredam insiden rasisme tersebut.
“Keanekaragaman (diversity)” tampaknya merupakan istilah yang tidak ada artinya kecuali jika ada suatu hal yang menandakan perubahan nyata. Kebijakan dianggap sebagai suatu media untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut.
Akan tetapi Obama dan Harris memiliki perdebedaan dengan PM Inggris. Sunak adalah seorang “pangeran” India-Inggris, tidak hanya berpendidikan swasta dan dijuluki sebagai orang yang sangat kaya, tetapi juga seorang aktivis yang berkomitmen secara ideologis agar kekayaan dan hak istimewa kelas oligarki kecil Inggris didukung dengan mengorbankan banyak orang.
Dengan berbagai privilege sebagai “crazy rich”, dia mampu untuk menempuh pendidikan di boarding school elite Winchester College hingga berkuliah di Lincoln College Oxford dan mengambil pendidikan master MBA di Stanford University.
Kekayaan dan pendidikan agaknya menjadi faktor yang paling berpengaruh untuk mendapatkan posisi pemerintahan paling tinggi di negara itu.
Pada akhirnya, privilege dalam aspek tertentu kiranya memengaruhi siapa yang berkuasa mengingat Sunak dipilih oleh Partai Konservatif Inggris.
Kembali pada pembahasan Anies, dirinya pun memiliki latar belakang pendidikan yang bereputasi. Sayangnya, Anies mungkin tak sekaya Sunak, tetapi dirinya mampu untuk mewujudkan citra sebagai orang Jawa dan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Lantas, apa yang pada akhirnya membuat Anies lebih mudah diterima masyarakat Indonesia? Serta, apakah Sunak kelak mampu untuk mewujudkan kesetaraan dan menekan rasisme di Inggris?
Dipermulus Budaya Jawa?
Identitas memang bukan menjadi suatu hal yang tetap, pasti, dan statis. Identitas bukan hanya menjadi suatu hal yang selalu melekat pada suatu individu, melainkan dapat terbentuk dalam waktu yang tidak sebentar.
Brunhilde Scheuringer menjelaskan keunikan pembentukan identitas dalam tulisannya yang berjudul Multiple Identities: A Theoretical and an Empirical Approach. Dia menjelaskan identitas dapat terbentuk melalui lingkungan sosial (social milieu) sehingga dapat berubah-ubah dalam waktu tertentu.
Penjelasan itu lah yang tampaknya dapat menjadi faktor utama mengapa Anies lebih diterima oleh masyarakat Indonesia dan mematahkan narasi Ruhut di awal tulisan ini. Utamanya, Anies secara tidak langsung telah melalui berbagai interaksi-interaksi sosial di banyak tempat dan waktu yang berbeda.
Satu hal yang paling signifikan yaitu tempat atau lingkungan sosial dimana dia tumbuh sedari belia di Yogyakarta, wilayah yang terkenal dengan budaya Jawanya yang sangat kenal. Dia bahkan mengeyam pendidikan di wilayah itu sejak menginjak sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA), hingga perguruan tinggi.
Masyarakat Indonesia pun tahu betul bahwa dirinya merupakan lulusan universitas ternama di Yogyakarta yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak heran jika lingkungan pertemanan dan sekolahnya mempengaruhi identitas sosial Anies sebagai orang Jawa.
Selain itu, dirinya juga dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya yang erat dengan nilai dan tradisi budaya Jawa. Proses internalisasi pun terbangun melalui kedekatannya dengan sang kakek yakni Abdurrahman Baswedan alias AR Baswedan yang kerap menggunakan dialek Bahasa Jawa khas Surabaya.
Tidak hanya itu, AR Baswedan memiliki kedekatan komunitas Arab yang pada akhirnya membangun identitas Anies. Oleh karena itu, Anies dapat memiliki keunikan identitas yang disebut oleh Scheuringer sebagai identitas jamak (multiple identities) sehingga dirinya dengan mudah melebur dan memperhalus penerimaan dari masyarakat sebagai orang Jawa tulen.
Dengan demikian, kebencian dan rasisme akan selalu menjadi tantangan besar bagi pemimpin di negara penganut white supremacy seperti Inggris. Dengan terpilihnya Sunak sebagai kaum minoritas, diharapkan jaminan kesetaraan dan penanganan isu rasisme dapat berjalan dengan baik di negeri Raja Charles.
Tentunya, terdapat perbedaan antara penerimaan Anies dan Sunak. Hal itu tidak terlepas dari faktor masyarakat, lingkungan, dan ras yang mereka miliki.
Jika ingin diterima dengan mudah, agaknya Sunak perlu merekonstruksi ulang identitas sosial yang unik sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Scheuringer. Namun, agaknya diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk membentuknya. (Z81)