Tidak dipungkiri Tiongkok sekarang semakin berani melakukan manuver geopolitik yang besar di panggung internasional. Cepat atau lambat, hal ini akan membuat Amerika Serikat (AS) sebagai hegemon dunia geram. Mengapa Tiongkok tiba-tiba berani mengambil risiko ini?
Siapa yang tidak setuju belakangan ini situasi geopolitik dunia sedang dalam kondisi yang panas-panasnya?
Bagaimana tidak, selain dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang sampai sekarang belum selesai, berita permainan politik negara besar juga kerap diisi kabar tentang persaingan sengit antara Amerika Serikat (AS) dan negara yang digadang-gadang akan jadi the next superpower, yakni Tiongkok.
Terbaru, dinamika gontok-gontokkan AS-Tiongkok dikaitkan dengan ‘kemesraan’ Presiden Tiongkok Xi Jinping dengan negara-negara Timur Tengah (Timteng), khususnya Arab Saudi dan Iran. Hal ini karena Xi berhasil melakukan apa yang tidak bisa dilakukan AS selama puluhan tahun, yaitu mendamaikan perseteruan “abadi” antara dua negara Islam tersebut.
Menganalisis fenomena itu, beberapa pengamat internasional menilai bahwa ini adalah bukti nyata Tiongkok mulai berhasil mengejar pengaruh internasional yang sebelumnya didominasi Negeri Paman Sam.
Namun, indikasi terbesar bangkitnya ambisi Tiongkok sebagai penantang hegemoni AS barangkali adalah hasil pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Maret 2023. Setelah berbincang secara tertutup, Xi mengatakan pada Putin bahwa akan ada perubahan besar pada dunia yang levelnya mungkin hanya akan terjadi 100 tahun sekali.
“Mari kita dorong perubahan ini bersama-sama,” kata Xi, yang kemudian dijawab “saya setuju,” oleh Putin.
Meskipun masih tampak seperti pecahan-pecahan puzzle, kita tidak bisa menutupi kecurigaan bahwa Tiongkok sepertinya memang sedang menyiapkan suatu gerakan besar dalam panggung politik internasional. Dugaan besar yang ada di benak semua orang tentu adalah Negeri Tirai Bambu sedang ancang-ancang menggeser AS sebagai hegemon dunia.
Walau Tiongkok sendiri belum pernah menyebut secara eksplisit mereka akan bertindak demikian, manuver-manuver geopolitik mereka yang secara terang-terangan menantang status quo dunia yang diciptakan AS patut menjadi dasar dugaan kita semua bahwa Xi sepertinya berniat “mengguncang” struktur politik internasional.
Namun, kalau memang benar, kira-kira mengapa Xi berani bertindak demikian? Selain karena kekuatan ekonomi, bukankah kekuatan terbesar AS, yakni militernya, harusnya mampu menyiutkan mental siapapun yang menentang mereka? Apa yang membuat Xi berani “bangkit”?
Militer AS Tidak Sekuat yang Dikira?
Bagi para penganut pandangan realisme, kekuatan keras (hard power) sebuah negara, yang biasanya dicerminkan melalui kapabilitas militernya, adalah hal yang paling penting dalam politik internasional.
Tidak peduli seberapa intens ketergantungan ekonomi yang dimiliki, jika satu negara memiliki militer yang jauh melampaui negara lain, maka negara itu bisa dan berhak bertindak semaunya. Karena itu, kekuatan militer jadi salah satu faktor penting yang menentukan pengaruh geopolitik sebuah negara. Militer pun bisa jadi semacam deterrence yang bisa membuat negara lain ragu mengganggu negara yang berkapabilitas militer besar.
Well, pandangan ini kerap jadi argumen utama bagi mereka yang melihat Tiongkok tidak akan bisa menggantikan AS sebagai negara paling kuat di dunia. Akan tetapi, masih bisakah kita benarkan argumen tersebut?
Lembaga think tank asal AS bernama The Heritage Foundation belakangan ini baru merilis survei penilaian kekuatan militer Negeri Paman Sam dengan laporan berjudul 2023 Index of U.S. Military Strength. Menariknya, laporan tersebut menyimpulkan bahwa militer AS hanya dua pertiga dari ukuran yang seharusnya, mengoperasikan peralatan yang lebih tua dari yang seharusnya, dan dibebani tingkat kesiapan yang lebih bermasalah dari yang seharusnya.
Jika diukur, kekuatan militer AS memang masih jadi yang paling kuat. Namun, Dakota Wood, salah satu peneliti yang terlibat laporan tersebut, menyebutkan bahwa apa yang dimiliki AS sekarang tidak sesuai dengan potensi ancaman konflik dengan empat negara oposisi AS saat ini, yakni Tiongkok, Rusia, Korea Utara (Korut), dan Iran.
Sebagai contoh, ia membandingkan kekuatan militer AS ketika masa Perang Dingin dengan sekarang. Ketika Perang Dingin AS memiliki 600 armada laut siap tempur, tapi saat ini militer AS hanya memiliki kurang dari 300 kapal yang siap tempur. Dari segi kualitas tempur, pilot tempur AS saat Perang Dingin memiliki rata-rata jam terbang lebih dari 300 jam per tahun. Saat ini, rata-rata pilot AU AS hanya kurang dari 120 jam. Secara keseluruhan, Wood menyebut kekuatan militer AS menciut lebih dari 50% dibanding tiga dekade lalu.
Satu catatan menarik lain yang juga perlu jadi perhatian kita adalah besarnya militer AS ketika Perang Dingin adalah untuk menangkal satu oposisi, yaitu Uni Soviet. Kalau saat ini AS terancam memerangi empat negara sekaligus dari berbagai belahan dunia, maka kemungkinan Paman Sam memenangkan perang konvensional bisa jadi sebenarnya sangat kecil.
Apalagi, kalau kita mengacu pada ranking Global FirePower (GFP), kekuatan militer AS sudah mulai dikalahkan negara-negara lain di beberapa sektor. Armada laut, misalnya, AS hanya menempati posisi keempat, sementara Tiongkok menempati posisi pertama, Rusia kedua, dan Korut ketiga.
Begitu juga dengan kekuatan darat. Potensi personel militer (profesional atau relawan) terbesar dunia dipegang Tiongkok dengan angka yang sangat jomplang, yakni sekitar 762 juta jiwa, sementara potensi personel militer AS hanya 148 juta. Kalau kita argumenkan kekuatan tank, maka AS dengan jumlah tanknya yang 5.500 pun masih kalah jauh dari potensi kekuatan tank Rusia yang berjumlah 12.000.
Bagi sebagian orang, argumen yang bisa membela militer AS mungkin adalah teknologi, dan seperti kata Wood, AS memang memiliki program teknologi militer yang lebih kuat dari negara-negara lain saat ini, termasuk Tiongkok. Akan tetapi, ia juga membuat catatan penting bahwa mayoritas dari program teknologi unggulan AS saat ini hanya dalam tahap pengembangan saja.
Ditambah dengan persoalan penentangan sejumlah senator AS untuk kembangkan program militer, nasib hard power AS di masa depan sesungguhnya berpotensi terancam.
Lantas, mungkinkah hal-hal ini yang membuat Xi semakin berani menentang AS?
Hanya Menunggu Momen Tepat?
Belum lama ini, Direktur Agensi Intelijen Pusat (CIA), William Joseph Burns, mengakui bahwa pengaruh geopolitik AS belakangan melemah. Ia menyoroti perjuangan AS mempertahankan dominasinya selama lebih dari 100 tahun yang sepertinya saat ini mulai terasa dampaknya. Pelemahan ini meliputi beberapa sektor, mulai dari ekonomi, sampai militer.
Karena hal itu, besar dugaannya Xi Jinping pun turut menyadari dan memanfaatkan menyurutnya kekuatan militer AS saat ini. Bisa jadi ini adalah salah satu alasan kuat kenapa Tiongkok belakangan mulai berani menantang hegemoni AS.
Walaupun mungkin Xi tidak berharap untuk membuka sebuah perang besar dengan AS, melemahnya kekuatan militer AS secara otomatis akan memberikan dampak yang besar pada keseimbangan kekuatan di dunia. Akibatnya, akan semakin banyak negara lain yang tidak lagi merasa takut secara berlebihan pada AS, apalagi jika mereka bisa beraliansi dengan sesama penentang hegemon.
Kalau kita kembali merefleksikan semua ini pada teori realisme dari studi hubungan internasional, melemahnya kekuatan militer sebuah negara memang bisa menjadi kesempatan bagi negara lain untuk menaklukannya, terlepas dari apakah akan berujung pada konflik terbuka atau tidak.
Tiongkok saat ini mungkin hanya memperkuat relasi diplomasi dan ekonominya dengan sejumlah negara. Namun, kita pun perlu menyadari bahwa sebuah aliansi militer yang kuat umumnya dibangun atas kepercayaan politik dan ekonomi yang kuat.
Dalam kata lain, di balik kunjungan-kunjungan dan “silaturahmi” internasional yang saat ini dilakukan Tiongkok, bisa jadi Xi sebenarnya sedang memupuk bibit-bibit politik yang bisa tumbuh menjadi hegemoni Tiongkok nantinya di masa depan, kalau momennya sudah tepat.
Oleh karena itu, bisa kita simpulkan bahwa saat ini adalah momen yang sangat penting bagi Paman Sam jika mereka ingin mempertahankan gelar sebagai negara adidaya. Jika mereka kebablasan, tatanan dunia yang baru tidak akan jadi imajinasi semata.
Karena, seperti kata sejarawan Yunani kuno, Thucydides: “yang kuat akan melakukan apa yang mereka bisa, dan yang lemah akan menderita dengan sepantasnya.” (D74)