Cross BorderAfrika, 'Mainan' Perang Putin Selanjutnya?

Afrika, ‘Mainan’ Perang Putin Selanjutnya?

- Advertisement -

Konflik yang terjadi di Sudan menjadi headline berita internasional dalam beberapa waktu terakhir. Terselip pula kabar bahwa perusahaan tentara bayaran Rusia, Wagner Group terlibat dalam konflik ini. Mengapa bisa demikian? Dan kira-kira apa kepentingan politik grup tersebut di sebuah negara Afrika yang nun jauh?


PinterPolitik.com

Untuk beberapa minggu belakangan ini perhatian media internasional tampaknya teralihkan dari perang Rusia dan Ukraina ke eskalasi konflik yang sedang terjadi di Sudan.

Bagaimana tidak, perselisihan mengerikan yang terjadi antara pihak militer Sudan dan grup paramiliter, Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) ini menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menewaskan lebih dari 400 orang dan mencederai ribuan orang.

Oleh karena itu, tentu wajar bila negara-negara asing yang berkecimpung di sana mulai mengevakuasi warganya negaranya, termasuk juga Indonesia yang terakhir dikabarkan sudah menyelamatkan 385 WNI yang terperangkap di negara berkonflik tersebut.

Konflik ini sebenarnya secara garis besar memang dilihat sebagai konflik domestik. Ini adalah hasil benturan kepentingan para pihak yang ingin menguasai pemerintahan Sudan secara keseluruhan. Akan tetapi, belakangan juga terungkap bahwa ternyata ada campur tangan beberapa negara asing yang sepertinya cukup berkontribusi dalam “penyulutan api” perang sipil di negara Timur Laut benua Afrika tersebut.

Sebuah laporan dari BBC mengungkapkan bahwa kubu militer mendapatkan dukungan politik dari Mesir, sementara kubu RSF memiliki backingan dari Uni Emirat Arab dan perusahaan tentara bayaran asal Rusia, Wagner Group. Dan yess, peran Wagner di konflik ini mungkin mencuat di antara dugaan dukungan-dukungan asing lainnya karena kelompok tersebut belakangan ramai dibicarakan media akibat perannya di Perang Rusia-Ukraina.

Untuk itu, pantas untuk kita pertanyakan, mengapa Wagner bisa terlibat dalam konflik Sudan? Dan sebagai perusahaan yang terafiliasi dengan Rusia itu sendiri, kira-kira intrik politik apa yang disisipkan Presiden Vladimir Putin melalui mercenary group tersebut di Afrika?

image 36

Sudan, Contoh ‘Koloni’ Rusia?

Untuk yang pernah atau sedang belajar tentang resolusi konflik negara, di awal-awal pembelajaran umumnya akan diberitahu bahwa suatu konflik politik domestik adalah persoalan yang disebabkan dan juga perlu diselesaikan oleh dinamika politik internal negara terkait.

Namun, “se-domestik” apapun suatu permasalahan politik internal sebuah negara, konflik domestik akan tetap dilihat sebagai jendela bagi para aktor internasional untuk bisa terlibat dan sebisa mungkin menciptakan situasi politik yang kondusif terhadap kepentingan mereka di masa depan. Tentunya, kecurigaan ini tidak bisa kita lepaskan dari peran Wagner dan Rusia di Sudan.

Catrina Doxsee dalam tulisannya How Does the Conflict in Sudan Affect Russia and the Wagner Group?, di laman CSIS mengungkapkan bahwa Wagner, kelompok yang secara rutin membawa tujuan politik, militer, dan ekonomi Rusia, mulai dikerahkan secara “serius” ke Sudan pada Desember 2017 untuk memberikan dukungan politik dan militer kepada Presiden Sudan saat itu, Omar al-Bashir.

Yang menariknya, pada bulan sebelumnya, Rusia menegosiasikan serangkaian kesepakatan ekonomi dan keamanan dengan Sudan, yang utamanya mencakup serangkaian konsesi pertambangan emas untuk M-Invest, sebuah perusahaan Rusia yang juga terafiliasi dengan Yevgeny Prigozhin, pimpinan grup Wagner.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Yess, emas. Sejak zaman Kekaisaran Romawi, wilayah Sudan, yang kala itu dikuasai peradaban Meroe, memang sudah dikenal memiliki cadangan emas yang melimpah. Menariknya, berdasarkan investigasi yang dilakukan CNN, sejak Perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022, dikabarkan bahwa jumlah kendaraan transportasi yang membawa emas dari Sudan ke Rusia semakin banyak.

Lucunya, satu temuan mengungkapkan bahwa manifes dari salah satu pesawat kargo emas tersebut menunjukkan mereka hanya membawa “kue” ke Rusia.

Dari sini, dugaan kuat muncul bahwa Sudah telah dijadikan salah satu negara yang dijadikan sebagai pemasok kekayaan Rusia di tengah terpaan sanksi negara-negara Barat akibat perangnya di Ukraina.
Bahkan diperkirakan bahwa penyelundupan emas dari Sudan ini memungkinkan Rusia mendapatkan uang senilai miliaran dolar, jumlah yang pada akhirnya mungkin mampu membuat mereka bertahan dari sanksi.

Akan tetapi, emas bukan satu-satunya dugaan kepentingan Rusia di Sudan. Pada tahun 2020 Rusia diketahui membangun perjanjian bersama pemerintah Sudan untuk membangun pangkalan militer di Laut Merah. Sesuai rencana awalnya, pangkalan tersebut direncanakan akan mampu menampung empat kapal perang besar, dan juga bahkan kapal selam nuklir Rusia.

Tidak hanya dari aspek teknis, posisi geografis wacana pangkalan militer itu juga mampu membuat Rusia memiliki daya tawar yang begitu tinggi secara global karena jika akhirnya bisa terbangun, Rusia memiliki kemampuan untuk menutup jalur Bab el-Mandeb, salah satu choke point terpenting perdagangan dunia.

Untuk saat ini, pihak yang sekarang menguasai Sudan menahan rencana pembangunan pangkalan tersebut karena ditengarai mendapat tekanan dari Amerika Serikat (AS). Akan tetapi, bisa dibayangkan jika Rusia dan Wagner mampu memenangkan RSF dalam menggulingkan pemerintah Sudan sekarang, mereka akan berharap mendapat imbalan melalui pembukaan kembali wacana pembangunan pangkalan militer itu.

Sementara ini, tentu dugaan-dugaan di atas berangkat dari pecahan-pecahan hasil investigasi dan hanya asumsi semata. Bagaimanapun hasil akhirnya nanti, pihak yang akhirnya menguasai Sudan secara keseluruhan tentu perlu memikirkan potensi ancaman dari negara-negara Barat bila mereka akhirnya memutuskan untuk membantu Rusia.

Ini kemudian membawa kita ke satu pertanyaan krusial, apa yang bisa membuat RSF, dan kemungkinan orang-orang Sudan secara keseluruhan, berpotensi berani meresikokan hubungan mereka dengan negara Barat demi Rusia?

image 37

Karena Terpesona oleh Putin?

Investigasi yang dilakukan CNN di Sudan tadi juga mengungkap satu fakta menarik. Di tengah perang Rusia-Ukraina dan eskalasi konflik yang terjadi di negaranya, ternyata banyak warga Sudan yang memiliki sentimen positif terhadap Rusia.

Fenomena ini diduga bisa terjadi karena Sudan, dan mayoritas negara-negara Afrika secara umumnya, adalah korban kolonialisme Eropa selama ratusan tahun. Yap, rasa benci terhadap negara seperti Prancis, Inggris, dan bahkan AS, adalah hal yang sangat lumrah di sana.

Oleh karena itu, narasi-narasi pro Rusia yang tersebar melalui media sosial atau televisi bisa diterima dengan lebih mudah. Akibatnya, hal ini diprediksi membuat warga Sudan lebih terbuka jika Rusia ingin membangun sebuah proyek besar di negaranya. Di sisi lain, bantuan militer dari Wagner kepada salah satu kubu yang berkonflik pun mampu menarik simpati sebagian warga Sudan.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin ala Prabowo?

Yang membuat hal ini lebih menarik adalah Sudan sepertinya bukan satu-satunya negara Afrika yang terlena oleh agenda politik Rusia. Andres Schipani dan kawan-kawan dalam tulisannya How Russia’s propaganda machine is reshaping the African narrative, menyebutkan bahwa Rusia kini diduga sedang menjalankan propaganda media ke hampir seluruh negara di Afrika.

Pada 2022 lalu misalnya, terungkap kabar bahwa RT, perusahaan media milik pemerintah Rusia membuka cabang di Afrika Selatan (Afsel), dan tengah berambisi membuka jaringan ke negara-negara Afrika lainnya, termasuk Sudan.

Well, bahkan tanpa membuka cabang pun, RT sudah bekerja sama dengan stasion-stasion televisi Afrika, contohnya adalah Afrique Média, yang berdomisili di Kamerun. Gerakan-gerakan media ini pada akhirnya membuat sejumlah pengamat menyebut Putin mulai dipandang bak pahlawan oleh warga dari negara-negara Afrika. Narasi yang efektif dimainkan di sana adalah framing Putin sebagai sosok yang bisa melawan imperialisme Barat.

Kalau dugaan-dugaan itu memang benar, maka sepertinya perang sipil Sudan dan intervensi Rusia di sana beresonansi dengan teori yang diungkapkan sosiolog AS, Herbert Schiller, yakni digital colonialism atau kolonialisme digital. Schiller menyebut bahwa di era modern ini para kekuatan besar dunia masih menjalankan praktik kolonialisme secara digital, utamanya menggunakan potensi kekuatan media untuk membentuk opini publik.

Melalui metode seperti ini, negara dengan kemampuan propaganda kuat, seperti Rusia contohnya, bisa menjadikan dukungan-dukungan yang tumbuh di negara asing sebagai modal sosial dan modal politiknya untuk melancarkan agenda-agenda politik mereka di masa depan.

Salah satu yang paling mudah untuk dibayangkan, sesuai dengan pembahasan kita di tulisan ini, adalah eksploitasi dukungan untuk membangun proyek infrastruktur strategis. Terlebih lagi, negara-negara Afrika adalah negara yang memiliki potensi sumber daya mineral yang luar biasa. Dari sini kita hanya bisa pertanyakan, kira-kira agenda besar apa yang sedang dipersiapkan Rusia di negara-negara Afrika?

Menariknya, kalau kita bicara tentang sentimen pro-Rusia, maka kita pun perlu berkaca pada Indonesia. Seperti yang diketahui dan telah dibahas beberapa media, Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan pendukung Rusia terbanyak. Bahkan di kolom komentar postingan @pinterpolitik sendiri kita akan selalu bisa temukan komentar warganet yang sangat mendukung Rusia dalam perangnya dengan Ukraina.

Oleh karena itu, bila pembahasan kita di atas membuktikan bahwa sentimen pro-Rusia bisa digunakan oleh Rusia untuk melancarkan agenda politiknya, maka kita juga perlu mewaspadai dukungan kita pada Negeri Beruang Putih. Bisa jadi, apa yang kita yakini saat ini tentang Rusia adalah sebuah rekayasa yang sudah didesain sejak lama.

Yang jelas, kita perlu terus waspada agar benih-benih konflik dalam negeri tidak dipermainkan intervensi asing. Kasus Sudan di sini bisa jadi pembelajaran kita bersama. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Jokowi Jurkam Ahmad Luthfi?

Bakal kayak gimana tuh kalau Pak Jokowi turun gunung kampanye juga di Jateng? Share pendapat kalian di kolom komentar ya! 

Kisah “Tom Lembong” di Romawi

Kisah-kisah bongkar aib dan dosa lampau untuk manuver politik..  #TomLembong #ThomasLembong #ThomasTrikasihLembong #MarkAntony #Cleopatra #Romawi #Octavian #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini