Salah satu girl group asal Korea Selatan (Korsel), yaitu Aespa kini semakin dikenal dunia. Mereka bahkan diundang sebagai pembicara di beberapa forum internasional. Bagaimana korelasi fenomena ini dengan politik luar negeri Korsel?
Baru-baru ini, girl group Aespa melakukan pidato di Forum Politik Tingkat Tinggi PBB. Konsep metaverse diklaim dapat berpengaruh pada pembangunan berkelanjutan.
Eksistensi Korean Wave bukan hanya berpengaruh pada perekonomian negara, tetapi juga merambah pada konteks sosial dan politik. Pada tahun lalu grup BTS sukses melakukan pidato di forum PBB, kini giliran Aespa yang menunjukkan potensinya pada dunia.
Aespa merupakan girl group yang beranggotakan empat orang idol perempuan ditambah dengan empat anggota avatar. Nama Aespa sendiri merupakan gabungan dari “ae” yang memiliki arti avatar x experience yang memiliki arti pengalaman. Kata ini dielaborasi dengan kata dalam bahasa inggris yaitu ‘aspect’ yang memiliki arti aspek. Keduanya jika digabung memiliki arti “bertemu dengan dirimu yang lain sebagai avatar dan mengawali dunia baru”.
Grup yang baru memulai debut-nya sejak tahun 2020 ini telah meraup popularitas yang tinggi di kalangan milenial dan generasi Z. Bahkan, single debut-nya yang berjudul Black Mamba berhasil mencetak rekor pendatang baru yang menguasai tangga lagu Apple di 93 negara dan iTunes di 48 negara dalam kurun waktu satu hari sejak perilisan lagu. Hal ini yang membuatnya kerap dijuluki “monster rookie”.
Mereka pun tidak hanya gencar melakukan promosi di Korea Selatan (Korsel) saja, melainkan juga di Negeri Paman Sam. Berbicara mengenai bisnis internasional akan selalu berhubungan dengan lingkungan politik hukum di suatu negara.
Hal ini menjadikan bisnis internasional selalu berkaitan dengan hubungan internasional karena sistem politik yang diterapkan suatu negara dapat mempengaruhi kebijakan ekonominya. Kebijakan yang dapat menguntungan terkait dalam hal ini adalah kebijakan ekonomi negara yang cenderung terbuka.
Menurut teori manajemen impresi politik yang diungkapkan Christ’l De Landtsheer, Philippe De Vries & Dieter Vertessen. Setidaknya terdapat tiga aspek yang dibahas yaitu kekuatan retorika politik melalui kutipan wawancara dan metafora yang sesuai dengan kondisi lingkungan, kesesuaian penampilan, dan profil politisi.
Lantas, bagaimana Aespa bisa menjadi perpanjangan tangan politik pemerintah Korsel, khususnya dalam kancah internasional?
Diplomasi Soft Power ala Aespa
Mengingat konsep Aespa bergerak antara realitas dan realitas virtual, Aespa berusaha untuk mengelaborasikannya dengan pembangunan berkelanjutan. Ini merupakan sesuatu yang memiliki urgensi dunia.
Giselle, salah satu personel Aespa menyatakan bahwa eksistensi dunia virtual dapat bertahan jika dunia realitas juga dapat bertahan. Ia juga menyinggung pentingnya kesempatan yang sama dapat mendukung kehidupan yang berkualitas sehingga dapat mendukung dunia virtual.
Grup ini bukan hanya mengandalkan dunia virtual saja, namun juga bakat dan penampilan. Konsep metaverse tentunya mempengaruhi gaya berpakaian dan tampilan Aespa misalnya dari segi fashion yang terkesan futuristik.
Sebagai grup yang pertama kali pergi ke kwangya (dunia virtual SM Entertainment), Aespa berhasil menciptakan impresi politik dari segi visual. Impresi politik Aespa tidak terlepas dari ambisi SM Entertainment dalam mewujudkan kwangya.
SM Entertainment terkenal memiliki imej yang selalu melakukan terobosan dalam dunia industri. Hal ini sesuai dengan motto-nya yaitu ‘Culture First, Economy Next’ sehingga jelas bahwa terdapat ekspansi pasar secara global. Apa yang dilakukan SM Entertainment sebenarnya merujuk pada diplomasi soft power.
Diplomasi soft power yang modern dijelaskan oleh R.P. Barston, bahwa pelaksanaannya bukan hanya dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan juga media, artis, industri musik dan hiburan, bahkan masyarakat. Fokus utama soft power yaitu kemampuan suatu entitas untuk membuat pihak lain setuju dengan apa yang ingin disampaikan, tanpa perlu menggunakan paksaan.
Konsep soft power hanya dapat dianggap sukses jika ada aktor lain yang menerapkan upaya tersebut, bahkan memiliki harapan yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Maka, implementasi soft power dilakukan secara terencana melalui strategi dan dukungan yang berkesinambungan oleh negara dan aktor lainnya yang terlibat.
Sehubungan dengan hal ini, Louise Diamond dan John McDonald mendefinisikan konsep multi track diplomacy sebagai konsep diplomasi yang menjelaskan mengenai proses terjadinya perdamaian dunia dalam sistem internasional melalui perpaduan dari diplomasi jalur pemerintah, diplomasi jalur kelompok, dan diplomasi jalur individu. Tujuannya yaitu untuk menciptakan perdamaian dunia melalui sistem yang terintegrasi melalui konsep diplomasi soft power.
Seperti yang kita ketahui, “Korean wave” yang mengacu pada popularitas global industri hiburan Korsel mulai dari musik, film, televisi, dan aspek budaya populer lainnya, merupakan sumber utama pendapatan ekspor yang juga menghasilkan pengaruh soft power yang cukup besar bagi Korsel.
Pemerintah Korsel tentunya berusaha untuk memperbagus citra mereka di kancah internasional dalam menyelesaikan permasalahan diplomatik. Dengan demikian, perlu adanya peningkatan infrastruktur diplomatik dalam kerjasama internasional.
SM Entertainment, manajemen yang membawahi Aespa memang sudah dikenal melakukan misi diplomasi internasional. Misalnya saja kerja sama SM Entertainment dengan UNICEF bersama artis-artis mereka dalam kampanye ‘Smile for U’ melalui edukasi musik bagi anak-anak, remaja, dan disabilitas di Vietnam. Bahkan, Siwon merupakan Goodwill Ambassador untuk wilayah Asia Pasifik Timur dari UNICEF.
Berdasarkan track record SM Entertainment, agensi ini ahli dalam melakukan kerja sama internasional, namun juga termasuk misi diplomasi. Artis dan idol SM Entertainment dapat dianggap sebagai infrastruktur diplomatik, termasuk juga Aespa.
Terlebih, pemerintah Seoul sedang melakukan pengembangan proyek Metaverse dalam birokrasinya. Mereka berambisi untuk menjadikan Seoul sebagai pusat global untuk teknologi baru. Hal ini selaras dengan ambisi SM Entertainment, terlebih dengan kehadiran Aespa sebagai pendatang baru.
Lantas, pertanyaan besar yang masih tersisa adalah kenapa Korsel begitu antusias memperkuat pengaruh soft powernya, contohnya melalui Aespa?
Persiapan Korsel Perang Budaya?
Kehadiran Aespa menjadikannya sebagai infrastruktur diplomatik yang powerful mengingat adanya globalisasi yang memicu munculnya fenomena culture wars atau perang budaya. Globalisasi mengacu pada jaringan koneksi sehingga tidak ada sekat antar negara. Semua dapat saling terhubung.
Globalisasi bukanlah proses yang melibatkan mundurnya negara karena negara tetap merupakan medan strategis yang diperebutkan dan kontrolnya sangat penting bagi tatanan dunia. Ilustrasi betapa pentingnya culture wars di dunia dikutip melalui artikel “Culture Wars? How Americans and Europeans View Globalization” oleh Steven Kull. Ternyata, mayoritas menganggap bahwa popular culture seperti musik, televisi and film tidak dianggap mengancam.
Mereka juga beranggapan bahwa globalisasi lebih memberikan dampak yang positif ketimbang yang negatif. Jajak pendapat tersebut juga membantah gagasan bahwa Amerika melakukan misi penyebaran budaya melalui globalisasi, sementara Eropa menangkal anggapan bahwa Amerika berusaha untuk melindungi budaya mereka sendiri.
Padahal, produk-produk budaya tersebut sebenarnya berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat dari negara yang menjadi target culture wars.
Hal ini mirip dengan fenomena yang terjadi di Indonesia. Fenomena Korean Wave sudah menjalar mulai dari industri musik, film, pakaian, make up, skincare, dan produk-produk lainnya. Kepopuleran K-Pop yang begitu luas, membuat budaya Korsel semakin mudah untuk menguasai pasar. Terlebih, jika dunia virtual sudah benar-benar terealisasikan. Tentunya, kekuatan itu tidak terlepas dari Aespa. Nama mereka pun akan semakin melejit.
Berdasarkan hubungan antara teori soft diplomacy dan multi track, terlihat adanya kesinambungan struktur antara kerja sama pemerintah dan industri hiburan dalam melakukan misi diplomasi baik untuk mempromosikan budaya negara maupun misi perdamaian dunia. Semua upaya tersebut dilakukan untuk meningkatkan citra negara di mata dunia.
Selanjutnya, menimbang teori impresi politik Aespa yang ingin disampaikan SM Entertainment dalam mewujudkan dunia virtual, pengaruh Aespa dapat menjadi infrastruktur soft power negara Korsel. Hal ini diperkuat dengan ambisi pemerintah Seoul untuk mewujudkan pusat teknologi global. Artinya, kedua pihak memiliki harapan dan tujuan yang sama sebagai misi diplomasi soft power.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa soft power yang dimanfaatkan pemerintah Korsel melalui infrastruktur diplomasi, khususnya Aespa telah berpengaruh terhadap upaya soft power diplomacy dan upaya perwujudan perdamaian di dunia.
Akhir kata, mungkin semua ini sebenarnya berkorelasi dengan sepenggal lirik dari salah satu lagu Aespa, berjudul Savage. “Oh my God! Don’t you know I’m a Savage?”. (Z81)