HomeCelotehTerawan, ‘Anak Emas’ WHO?

Terawan, ‘Anak Emas’ WHO?

“Too afraid of a lot of changes” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)


PinterPolitik.com

Mungkin, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa perubahan akan selalu membawa perbedaan. Terkadang, perbedaan itu bisa dinilai sebagai hal yang baik maupun hal yang buruk.

Perbedaan akibat perubahan ini pun bisa langsung dirasakan lho. Coba lihat bagaimana perbedaan langsung terasa di Asgard ketika Hela berhasil mengambil tampuk kepemimpinan dari Thor.

Bahkan, perubahan itu terjadi dengan membawa konflik lho – dengan kalahnya kawan-kawan Loki ketika melawan Hela. Dewi Kematian tersebut pun akhirnya membangkitkan pasukan kunonya dan memburu siapa saja yang tidak patuh dan tidak mengakui kekuasaannya.

Yang jelas bisa kita amati dari film Thor: Ragnarok (2017) adalah bagaimana Hela dan Thor memiliki cara memimpin yang berbeda. Bahkan, Dewi Kematian itu juga pernah memimpin dengan caranya ketika sang ayah, Odin, menaklukkan sembilan dunia.

Siapa tahu perbedaan semacam ini juga terlihat lho di dunia nyata – bahkan di Indonesia? Mungkin, perbedaan cara memimpin ini terlihat di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Pasalnya, beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto mendapatkan undangan dari World Health Organization (WHO) karena dianggap berhasil menerapkan sejumlah aksi untuk mengatasi Covid-19 lho, khususnya soal intra-action review (IAR).

WHO sih berharap agar Terawan ini mau berbagi dengan otoritas-otoritas kesehatan di negara-negara lain – biar negara-negara lain juga bisa sukses melakukan apa yang disebut IAR itu. Wah, harusnya bangga dong dengan Pak Terawan. Hehe.

Ya, meski begitu, kabar ini juga menuai pertanyaan lho dari masyarakat. Gimana nggak? Sebagian besar masyarakat menilai bahwa Pak Terawan ini kurang sigap lho dalam menghadapi pandemi Covid-19 – kontras dengan anggapan dari WHO.

Hmm, asumsi negatif yang disematkan pada Pak Terawan ini beda sih dengan mantan Menkes era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni Siti Fadilah Supari. Pasalnya, meski beliau dianggap lihai dalam menangani epidemi Flu Burung dulu, mantan Menkes itu dinilai malah dianggap mendapatkan nasib buruk – seperti harus menjalani hukuman penjara.

Nah, uniknya nih, beda dengan Terawan yang justru terlihat ‘dekat’ dengan WHO, Bu Siti ini malah dinilai sering berbeda pandangan lho dengan organisasi internasional yang bergerak di bidang kesehatan itu. Katanya sih, beliau berusaha mencegah permainan politik vaksin dari negara-negara maju.

Hmm, kalau diperhatikan sih, Indonesia di era Menkes Terawan memang lagi gencar-gencarnya ya dalam mencari vaksin. Bahkan, Indonesia juga sedang terlibat langsung dengan kerangka global – bernama Covid-19 Vaccines Global Access (COVAX) – pengadaan vaksin yang akan disuplai oleh beberapa negara dan perusahaan.

Oh, iya. Saking bersyukurnya WHO dengan keterlibatan Indonesia di pengadaan vaksin, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sampai mengucapkan rasa terima kasih di akun Twitter-nya lho. Bahkan, ucapan itu disampaikan dalam Bahasa Indonesia.

Ya, mirip perubahan dan perbedaan ala Thor dan Hela, ini bisa saja pertanda bahwa Menkes Terawan lebih ‘disayangi’ lah ya oleh rezim kesehatan dunia tersebut daripada Bu Siti. Apa jangan-jangan Pak Terawan sekarang sudah jadi ‘anak emasnya’ WHO ya? Hehe.

Terlepas dari kemungkinan itu, kita nggak bisa jamin ya apakah benar keberhasilan yang disematkan ke Pak Terawan benar adanya atau nggak. Yang jelas, publik bisa menilai sendiri lah ya – entah dinilai baik atau sebaliknya. Hmm. (A43)

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?