“Saat ini berpotensi membuat kutub faksi di internal Golkar, yakni Airlangga dan Bambang Soesatyo. Faksi ini dapat membuat mesin partai tidak fungsional menggerakkan sumber daya yang sudah terbelah di internal partai”. – Andi Yusran, pengamat politik Universitas Nasional
Dua raja. Apa jadinya jika di sebuah kerajaan atau negara ada dua raja yang masing-masing sama kuatnya dan merasa sama-sama berhak menjadi penguasa tunggal?
Tentu saja akan ada perpecahan, ketidaksolidan, dan makin seringnya terjadi konflik. Intinya, dua muara kepemimpinan akan selalu melahirkan ketidakstabilan politik. Apalagi kalau masing-masing raja merasa yang paling berhak menjadi penguasa utama.
Baca Juga: Trump Buat Partai Republik Bubar?
Mungkin hal itulah yang tengah dialami oleh si kuning, Partai Golkar. Partai berlambang beringin ini hampir selalu mengalami keterpecahan kubu di internalnya. Dulu ada Surya Paloh vs Aburizal Bakrie. Surya Paloh tersingkir, bikin partai baru yang sekarang namanya Nasdem.
Lalu, kemudian sempat pula pecah antara kubu Aburizal Bakrie vs kubu Agung Laksono. Kedua kubu kemudian bisa bersatu dan sejalan di bawah komando Setya Novanto.
Nah, dua raja terbaru yang diprediksi masih akan mewarnai konflik internal Golkar adalah kubu sang Ketua Umum, Airlangga Hartarto, dengan kubu Ketua MPR, Bambang Soesatyo alias Bamsoet.
Walaupun Bamsoet sudah “menyerah” ketika merelakan posisi puncak partai diambil Airlangga – sekalipun doi udah jor-joran beriklan pakai videotron di jalan Sudirman-Thamrin, uppps – banyak yang memprediksi sang Ketua MPR itu tetap akan menjadi pemain penting yang menentukan masa depan Golkar.
Nah, banyak orang kemudian mengaitkan ini dengan konteks upaya Golkar merebut kursi RI-1 di Pilpres 2024 mendatang. Pasalnya, banyak yang menganggap dengan adanya dua raja seperti sekarang ini, soliditas partai akan cukup terganggu. Soalnya, baik Bamsoet maupun Airlangga diprediksi sama-sama akan berambisi untuk meraih kursi puncak negara ini.
Makanya, bisa-bisa emang gagal lagi Golkar untuk maksud tersebut. Apalagi, pasca Reformasi 1998, praktis Golkar hanya mampu menempatkan kadernya sebagai wakil presiden. Itupun dua-duanya diraih oleh Jusuf Kalla.
Artinya, untuk sekelas partai besar seperti Golkar, ketidakmampuan menempatkan kader sebagai presiden adalah hal yang memprihatinkan. Pak JK memang pernah running di 2009, namun nyatanya gagal.
Hmm, mungkin Pak Bamsoet dan Pak Airlangga kudu berembuk nih. Kalau mau Golkar jadi RI-1, maka mereka harus kompak. Biar partai jadi fokus. Hayoo, setuju nggak tuh? Kecuali kalau yang belakang-belakangnya pada nggak setuju ya. Uppps. Hehehe. Menarik untuk ditunggu kerlanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.