Tanggal 1 Juli 2022 jadi hari bersejarah buat Pertamina. Ya, ini karena muncul kebijakan bahwa masyarakat yang mau beli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti pertalite dan solar, harus menggunakan aplikasi MyPertamina. Hmm, berasa lagi pesan ojek atau makanan online gitu ya.
Seperti diberitakan di banyak media, PT Pertamina mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan aplikasi MyPertamina adalah agar penyaluran BBM bersubsidi tepat sasaran. Strategi ini diterjemahkan sebagai bentuk penghematan energi.
Sebagai tambahan, kondisi penghematan ini muncul dikarenakan Indonesia sama seperti negara medioker lainnya, ikut terdampak kondisi geopolitik dunia yang semakin memanas. Ini akibat perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan harga komoditas energi dunia naik gila-gilaan.
Lantas, apakah penggunaan aplikasi MyPertamina dapat menjadi solusi permasalahan ini? Bukankah krisis energi adalah persoalan makro yang begitu kompleks, sehingga permasalahan teknis yang sifatnya mikro seperti penggunaaan aplikasi, sulit diterima sebagai jalan keluar?
Apalagi, sebagian besar masyarakat cenderung memperlihatkan respon negatif. Ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan satir yang bermunculan. Salah satunya yang mempertanyakan aturan lain misalnya terkait larangan menggunakan handphone di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum alias SPBU. Kok sekarang mau beli bensin malah harus pakai handphone?
Sebenarnya, wacana ini tidak hanya untuk BBM bersubsidi saja karena pembelian gas LPG 3 kg juga rencananya akan diwajibkan dengan syarat yang sama. Ini sebetulnya sudah terjadi pada komoditas lain, salah satunya terkait pembelian minyak goreng curah yang dibanderol Rp 14 ribu per liter lewat aplikasi tracking Covid-19, the one and only PeduliLindungi.
Alasan penggunaan PeduliLindungi sih mirip-mirip dengan MyPertamina, yaitu agar pemantauan distribusi minyak goreng curah terkendali, serta ketersediaannya terjaga dengan harga yang sesuai dengan batas eceran tertinggi.
Pernyataan menarik muncul dari Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting yang mengatakan bahwa penggunaan MyPertamina diharapkan mampu mengumpulkan data yang digunakan untuk menetapkan kebijakan energi bersama pemerintah, serta dapat mencegah potensi terjadinya penyalahgunaan atau kasus penyelewengan BBM subsidi di lapangan.
Hmm, tapi yang banyak dipertanyakan di medsos adalah apakah ada tujuan untuk mengumpulkan data masyarakat ya? Jadi curiga nih, apakah benar data yang dikumpulkan digunakan untuk keperluan analisis strategis, atau jangan-jangan ada agenda di balik pengumpulan data-data tersebut? Soalnya kan sekarang tahun politik, pengumpulan data berpeluang disalahgunakan untuk kepentingan politik. Data juga bisa dijadikan sebagai bisnis loh.
Apalagi di era digital saat ini, tidak hanya kebijakan yang berbasis data, kampanye politik juga telah berubah menjadi operasi data yang canggih, atau sering disebut sebagai data driven political campaign.
Glenn Kefford dalam tulisannya Data-driven Campaigning and Democratic Disruption: Evidence from Six Advanced Democracies, mengatakan bahwa data driven campaign (DDC) atau bisa kita sebut dengan kampanye berbasis data, mempunyai keunggulan dalam eksekusi kampanye, tapi sekaligus dianggap bertentangan dengan norma dan praktik demokrasi.
Tentu DDC bertentangan, dikarenakan data yang diambil merupakan privacy seseorang. Hal ini mengacu pada corak big data yang menekankan pada “Four Vs”, yaitu besaran data (volume), keragaman (variety), kecepatan produksi (velocity), dan kedalaman nilai data (value).
Dalam konteks ini, penambangan data bertentangan karena masyarakat hanya diposisikan tidak lebih dari sebuah objek. Padahal demokrasi sejatinya menjadikan individu lebih bermartabat, yaitu sebagai subjek dan objek sekaligus.
Hmm, kita hanya bisa berharap, kalau kebijakan menggunakan aplikasi yang sedang marak terjadi ini bukanlah untuk kepentingan politik. Dan semoga juga yang punya big data, juga punya big heart untuk bijak dalam menggunakan data yang dimiliki. Upss. (I76)