“Ketika Bro Sunny memilih untuk mendukung, tanpa diminta, dia pun mengajukan untuk mengundurkan diri dari posisi Sekwanbin PSI”.- Grace Natalie, Wakil Ketua Dewan Pembina PSI
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mungkin menjadi satu-satunya orang yang dianggap bertanggung jawab atas berhentinya Sunny Tanuwidjaja sebagai Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Karena sejauh ini, kemunduran Sunny dari PSI disinyalir berkaitan dengan sikap politiknya yang dianggap telah mendukung Anies. Ini sih sikap sportif. Kan semua orang tau kalo PSI adalah partai yang sering berseberangan dengan kebijakan-kebijakan Anies.
Mungkin ini peristiwa kedua dari drama kemunduran kader-kader PSI yang dikaitkan dengan Anies, setelah sebelumnya Tsamara Amany juga memilih hengkang. Untuk kasus Sis Tsamara, sejumlah orang mengaitkannya dengan hubungan suaminya, Ismail Fajrie Alatas yang juga merupakan teman dekat Anies.
Sedikit memberikan konteks, meski keduanya sama-sama keluar dari PSI, tapi khusus untuk Sunny mungkin sedikit lebih spesial. Ini karena mantan staf khusus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta itu, dianggap potensial dan dapat memberikan peran berharga bagi Anies.
Menurut kesaksian Ahok, Sunny adalah salah satu peneliti lembaga Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Doi juga pernah bekerja pada salah satu konglomerat di Indonesia, yaitu Peter Sondakh yang merupakan CEO Rajawali Corporation.
Bahkan, ia juga merupakan sepupu dari istri Chairman PT SMART, Franky Wijaya. Pasti tau lah siapa Franky. Beliau adalah anak dari pendiri Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja. Ini artinya, Sunny mempunyai jejaring konglomerasi yang kuat.
Tentunya, kedekatan Sunny dengan konglomerat akan menjadi point positif bagi Anies. Bisa saja saluran kekuatan konglomerat mengalir ke Anies, mengingat saat ini ia membutuhkan “amunisi politik” untuk berkompetisi pada Pilpres 2024 mendatang.
Hmm, kok seolah- olah Anies mampu menculik kader-kader PSI satu demi satu ya? Dan Ngomong-ngomong soal culik menculik, kok jadi keinget genderuwo ya. Apakah fenomena ini dapat dimaknai sebagai politik genderuwo?
Antropolog Clifford Geertz dalam beberapa tulisannya tentang kondisi masyarakat Jawa, pernah mencatat soal mitos-mitos seputar makhluk halus di Jawa, khususnya genderuwo. Geertz mengklasifikasi tiga jenis makhluk halus yang dikenal orang Jawa, yaitu memedi, lelembut, dan tuyul.
Salah satu jenis memedi yang paling terkenal dan sering dibicarakan dalam masyarakat desa adalah genderuwo, yang umumnya digambarkan sebagai makhluk halus yang lebih suka bermain-main dan mengerjai manusia ketimbang menyakiti.
Menurut alam pikiran orang Jawa, genderuwo mampu menculik seseorang, sehingga pindah ke alamnya dan tak kembali ke alam manusia. Disinilah Geertz menampilkan cerita makhluk halus yang merupakan konstruksi budaya, tampil sebagai cerminan dari sifat dasar manusia.
Begitu pula dalam ranah politik, sifat dasar manusia yang merupakan refleksi budaya rupanya tidak hilang, melainkan terkonversi menjadi sikap politik. Hal ini ingin mengilustrasikan bahwa diculik genderuwo, dapat ditafsirkan sebagai tindakan menyeberangnya politikus dari satu kubu ke kubu lain karena motif kepentingan politik.
Kok berasa dunia politik sudah seperti dunia mistis ya. Kalau kader politik yang diculik disebut politik genderuwo, bagaimana jika kader yang suka loncat-loncat dari satu partai ke partai lain? Apa manuver mereka bisa dinamakan politik pocong? Hehehe. (I76)