“Kami dari Gerindra akan manfaatkan sisa waktu ini untuk meningkatkan elektabilitas calon presiden, yaitu Prabowo Subianto. Kami mulai start di awal Januari 2023” – Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian DPP Partai Gerindra
Kita tahu kalau cuaca merupakan fenomena alam yang sulit dikendalikan. Oleh sebab itiu, sering kali kondisi cuaca hanya bisa diramalkan dan terkadang juga tidak menentu. Yang perlu dan bisa dilakukan ialah meminimalkan dampak buruknya.
Tindakan preventif semacam itu bukan hanya untuk ramalan cuaca saja loh, melainkan juga untuk ramalan politik.
Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad yang menyatakan bahwa partainya akan memanfaatkan sisa waktu jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 untuk meningkatkan elektabilitas Ketua Umum (Ketum) Gerindra Prabowo Subianto.
Dasco menyebut Prabowo akan mulai menggerakkan mesin politik pada Januari 2023. Harapannya, mesin dan program politik Gerindra itu bisa mendongkrak elektabilitas Prabowo.
Sedikit memberikan konteks, dalam sejumlah survei nasional menunjukkan penurunan elektabilitas Prabowo.
Jika sebelumnya Prabowo menempati peringkat dua kandidat calon presiden (capres), survei teranyar dari Charta Politika dan Indikator menunjukkan posisi Prabowo turun di peringkat tiga – tepat di bawah Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Dalam survei Charta Politika Indonesia, misalnya, Prabowo memiliki elektabilitas sebesar 22 persen. Posisi Prabowo turun dari yang sebelumnya berada di peringkat dua.
Di lembaga yang berbeda, elektabilitas Prabowo dalam survei Indikator juga merosot dari peringkat dua menjadi peringkat tiga. Ketum Gerindra tersebut memperoleh suara sebesar 17,9 persen yang sebelumnya 22,5 persen.
Jika kita simak, langkah antisipasi Dasco terhadap turunnya elektabilitas Prabowo seolah memberikan gambaran kalau hasil survei itu sudah taken for granted untuk diterima.
Padahal, hasil survei yang juga merupakan ramalan politik itu perlu dikritisi karena bisa saja hasil survei itu merupakan “pesanan” yang tidak objektif lagi.
Hal yang sama pernah diungkapkan oleh Siti Zuhro seorang Peneliti Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI). Menurutnya hasil survei kadang membuka dua kemungkinan.
Nah, di antara kemungkinan inilah, biasanya terjadi penyelewengan sehingga lembaga survei haruslah terbuka untuk memberitahu publik siapa yang menjadi pesanan survei.
Apalagi fenomena alam juga tidak selamanya stabil hingga dapat diprediksi dengan akurat. Sering kali, muncul anomali cuaca sehingga ramalan pun kadang melesat karena anomali tersebut.
By the way, kok kondisi anomali cuaca ini mirip dengan perdebatan ramalan yang berbeda antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ya?
Perbedaan ramalan ini bermula ketika BRIN mengatakan kalau wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan mengalami hujan ekstrem dan badai dahsyat pada 28 Desember 2022.
Namun, alih-alih mengkonfirmasi ramalan BRIN, BMKG malah menampik adanya badai pada hari itu. BMKG mengatakan hanya akan ada hujan lebat.
Merespons perbedaan tersebut, Dasco mengatakan kalau BRIN dan BMKG akan dipanggil komisi terkait perihal beda penjelasan mengenai prediksi badai.
Hmm, kok Dasco beda sikap ya? Untuk ramalan politik, seolah taken for granted, sedangkan, untuk ramalan cuaca kok agak kritis ya? Oh iya, BRIN bisa nggak ya meramalkan elektabilitas Prabowo? Eh, salah salah. Haha.
Padahal keduanya sama-sama ramalan, jadi ingat ungkapan novelis Jostein Gaarder yang menyebutkan, “peramal berusaha meramalkan sesuatu yang tidak dapat diramalkan.” Hehehe. (I76)