“Technological progress is like an axe in the hands of a pathological criminal” – Albert Einstein, ahli fisika asal Jerman
Gengs, memang benar kata orang bijak, bahwa hidup yang baik itu yang mengerti zaman, ya. Ini penting sekali diresapi maknanya karena masih banyak lho yang belum mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Setidaknya, kita bisa belajar dari karakter Asami dalam film The Legend of Korra. Film yang bercerita tentang Avatar tersebut ber-setting zaman yang serba maju, mulai teknologi sampai informasi. Bandingkan aja deh sama pendahulunya dalam Avatar Aang.
Di Avatar Korra ini, karakter yang mimin paling suka ya Asami, soalnya dia sering kali menjadi penyelamat saat tim Avatar kebingungan. Dilihat dari kekuatan, Asami ini tergolong biasa aja, cuy – bukan dari keturunan pengendali elemen pula.
Namun, justru itulah yang membuat ia menjadi faktor X kehebatan tim Avatar. Ia yang bukan pengendali elemen mencoba mencari celah agar bisa hebat dan dibutuhkan oleh orang banyak.
Beruntung sekali, ayahnya merupakan bos besar pemilik perusahaan teknologi. Lagi pula, Asami juga memiliki banyak akses informasi sehingga, untuk mendapat kekuatan, Asami berusaha keras menguasai teknologi dan informasi.
Walhasil, dalam aksi-aksi Avatar, Asami kerap menjadi solusi jitu, seperti menyediakan kendaraan, mereparasi alat informasi yang rusak, membuat senjata berbasis teknologi, dan lain-lain. Kisah Asami ini membuktikan bahwa di zaman yang serba maju kekuatan terletak pada kepekaan kita dalam memahami kemajuan itu sendiri lho, cuy.
Kalau diterjemahkan dalam tulisan ini, ya pada intinya zaman millenial yang semuanya serba digital, maka kekuatan kita tentu harus menyasar dunia digital pula. Nggak bisa diremehkan deh pokoknya kekuatan digital itu pada zaman sekarang.
Barang kali, anggapan demikian yang menjadi pendorong Bung Fadjroel Rahman mengunggulkan influencer media sosial sebagai partner pemerintah dalam menyukseskan program kerja – minimal bikin konten menarik buat sosialisasi atau bisa juga mewarnai dunia digital dengan pendidikan kewarganegaraan yang disodorkan oleh tim kerja pemerintah.
Meski menurut mimin agenda tersebut out of the box dalam artian keren banget, bukan berarti nggak ada kritikan lho, cuy. Bahkan, kritikan paling keras muncul dari anggota parlemen langsung, lewat statement Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Menurut Bang Sufmi sih, apa yang pokok tuh sebaiknya pemerintah sendiri yang turun tangan memanfaatkan banyak jembatan, mulai medsos sampai surat kabar. Jadi, influencer nggak terlalu penting karena selain bikin orientasi kerja sosialisasi pemerintah nggak efektif dan juga menyebabkan lemahnya saving anggaran.
Mimin sih oke aja sama pertimbangannya Bang Sufmi tetapi, kalau dikatakan penggandengan influencer kurang tepat, kayaknya kok janggal deh. Secara, kita semua sadar bahwa dunia sekarang ini menempatkan influencer sebagai kekuatan utama. Kalau nggak percaya coba deh dilihat di Instagram atau YouTube, betapa masyarakat lebih banyak mengikuti influencer daripada anggota pemerintahan.
Bahkan, sampai-sampai, masyarakat lebih paham gaya para influencer dibanding wakil rakyat dan pemerintah. Itu berarti kan influencer punya pengaruh besar toh kalau dipakai buat membantu pemerintah.
Kalau nggak percaya coba tanya saja ke Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo. Temannya yang merupakan public figure dan influencer kan sekarang banyak banget.
Makanya, lain kali Bang Sufmi ini perlu mempelajari perkembangan teknologi informasi dan potensinya deh sebagai mitra pemerintah, biar nggak kudet–kudet banget. Upsss. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.