“Apakah selama ini kita masuk ke dalam agama atau agama yang kita masukkan ke dalam diri kita?” – Sujiwo Tejo, budayawan asal Indonesia
Hei, gengs, buat pemanasan mimin tak ngomong dulu tentang dua hukum yang sering bersentuhan, yakni hukum positif (negara) dan hukum sosial (masyarakat). Karena soal masyarakat ini lebih kompleks, seperti yang dicontohkan oleh mulut-mulut film Tilik (2018), mending mimin bahas dulu hukum sosial. Nah, hukum ini tuh mudahnya ingin mengatakan bahwa biarkan masyarakat yang menilai.
Dalam hal kepatuhan, hukum sosial ini lebih menekankan pada sejauh mana kecakapan ‘sosok’ yang hendak masuk ke dalam suatu masyarakat. “Lu nggak bisa memenangkan hati kami, ya mohon maaf kalau kami lebih memilih orang lain,” begitulah kira-kira hukum ini kalau diverbalkan. Misal nih, seperti yang terlihat dalam film SpongeBob SquarePants.
Kalian sadar ngga, kenapa kok Krusty Krab milik Mr. Krab lebih laris daripada Chum Bucket milik Plankton? Jawabannya tentu bukan karena Krusty Krab didukung pemerintah Bikini Bottom, melainkan sebab Chum Bucket nggak paham selera pelanggan. Akibatnya, ya Plankton dikucilkan. Kasihan ya, sob.
Sementara itu, hukum positif (negara) ya singkatnya bisa kalian artikan sebagai hukum yang ada aspek mengatur, memaksa, dan sanksi keras. Tentu saja, dalam hukum ini, peran negara harus di atas masyarakat karena negara membawa misi mengatur kehidupan antara komunitas sosial (masyarakat) satu dengan lainnya.
Makanya, kadang kala, negara memberikan banyak syarat administrasi bagi warga negara yang ingin menjalankan sektor-sektor kehidupan, termasuk ritual keagamaan. Paling mudah ya membangun peribadatan harus ke notaris dulu toh. Pun soal individu yang ingin masuk ke dalam suatu masyarakat, negara juga meminta ia mengurus banyak hal, seperti KTP.
Nah, kalau kedua hukum itu ditarik ke dalam isu yang sedang berkembang, kayaknya babagan sertifikasi penceramah atau penceramah yang bersertifikat sangat cocok, cuy. Pasalnya, ada tarik ulur antara Kementerian Agama (Kemenag) dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sebenarnya bukan tanpa alasan kok Kemenag meluncurkan program ini. Kabarnya, negara semata ingin menghindarkan masyarakat dari ancaman radikalisme agama yang biasanya didoktrinkan oleh penceramah yang tidak bertanggung jawab.
Tentu, sebagai warga negara yang menjunjung tinggi babagan ‘hanya ahli yang boleh naik di mimbar’, mimin sih sepakat sama Kemenag. Lagian, kalau disimak nih, alasannya MUI menolak juga unik.
Sebagaimana dikatakan Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi, “Wacana sertifikasi ini sangat tendensius. Dan saya, kami melihat, belum urgent untuk dilakukan itu. Apalagi kalau tujuannya untuk mengeliminir gerakan radikal dari ormas Islam, atau dari pendakwah muslim.”
Yaelah, Pak Muh, masa kondisi free market begini, di mana hampir orang-orang leluasa bicara agama di depan publik, padahal pengetahuannya minim masih dipandang belum urgen? Masih ingat kan kasus ustaz dadakan bernama Evie Effendi yang sempat viral karena ceramahnya yang kontroversial?
Bahkan, dia sudah memberikan klarifikasi bahwa dia belajar hanya dari YouTube dan buku. Ladalah kok mengaku gurunya langsung Nabi Muhammad. Hadeuh, kan ngaji itu sanadnya harus jelas dan runtut. Agar apa? Ya, agar ilmunya nggak ngawur. Hmmm.
Lha wong pemain sepak bola yang baru pensiun aja nggak boleh jadi pelatih sebelum dapat lisensi kok, kendatipun ia sudah lama bergelut babagan kulit bundar. Apalagi, ini soal keyakinan dan kehidupan berbangsa. Hadeh…, nggak heran deh sampai ada buku berjudul Matinya Kepakaran. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.