“Belum lagi keberhasilan dalam membongkar kasus besar yang jadi sorotan publik. Jadi hemat saya, wajar jika harapan publik sekarang tertuju ke Jaksa Agung” – Mustolih Siradj, Praktisi Hukum
Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya menetapkan mantan Bupati Kabupaten Indragiri Raja Thamsir Rahman dan pimpinan PT Duta Palma Group Surya Darmadi sebagai tersangka kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan PT Duta Palma Group di Kabupaten Indragiri Hulu.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, kedua tersangka tersebut merugikan negara hingga Rp78 triliun. Wow, ini adalah kasus korupsi yang merugikan negara dengan nilai terbesar yang pernah ditangani aparat penegak hukum.
Sekilas, ini hanya peristiwa biasa dalam konteks penanganan kasus korupsi. Tapi jika lebih detail lagi, kita akan melihat bahwa ada fenomena menarik dibalik kasus ini, yang akan menjadi narasi baru tentang prestasi Kejagung dalam penanganan kasus korupsi.
Sedikit memberikan konteks, beberapa tahun yang lalu muncul wacana bahwa Kejagung dianggap lebih banyak menangani kasus korupsi dibanding Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Hal ini dibuktikan dengan data yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), melaporkan bahwa Kejagung lebih banyak menangani kasus korupsi. Pada semester I tahun 2021, Kejagung berhasil menangani 151 kasus sedangkan Polri 25 kasus dan terakhir KPK hanya 13 kasus.
Dari data di atas Kejagung terlihat unggul dalam penanganan kasus korupsi. Tapi rupanya banyak pihak yang memaklumkan prestasi itu karena hanya dianggap unggul dari segi kuantitas saja, bukan dari segi kualitas kasusnya.
Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan kalau wajar jika dari segi kuantitas Kejagung unggul dibanding KPK dan Polri. Karena harus dipahami bahwa KPK hanya ada di Jakarta, dan dibatasi oleh undang-undang untuk menangani perkara yang besar saja berbeda dengan Kejaksaan.
Oleh karena itu, dengan berhasilnya Kejagung menangani kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan PT Duta Palma Group, dan menyelamatkan uang negara sebesar Rp 78 triliun, menangkis anggapan Kejagung hanya unggul di kuantitas saja.
Di sisi lain, KPK terlihat terseok-seok, bukan menghadapi kasus korupsi tapi menghadapi kepercayaan publik yang semakin minim. Yap, pekerjaan rumah KPK begitu banyak untuk mampu kembali menjadi lembaga rasua yang dipercaya di mata publik.
Beberapa persoalan, seperti polemik tes wawasan kebangsaan yang akhirnya membuat puluhan pegawai KPK keluar, hingga kontroversi para pimpinan KPK. Semuanya menjadi pemicu kepercayaan publik yang terkesan rendah.
ICW membandingkan perbedaan kinerja KPK dan Kejaksaan Agung saat ini terletak pada responsivitas masing-masing lembaga saat merespons persoalan. Sebagai contoh, saat kasus minyak goreng mulai hangat, Kejaksaan dengan cepat mengusut kasus itu dan langsung mendapat simpati dari masyarakat.
Hmm, terlepas dari prestasi Kejagung, fenomena ini merupakan sebuah ironi yang terjadi di negeri tercinta kita. Kok masih ada orang yang tega melakukan korupsi di tengah negara sedang melakukan pemulihan ekonomi akibat pandemi dan krisis global dampak Konflik Rusia-Ukraina.
Dulu negara ini mempunyai kekayaan yang berlimpah, bahkan syair sebuah lagu, “Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman” mewakili tanah Indonesia yang sangat subur. Sekarang sih masih tetap tapi dengan gubahan syair, “Tongkat, kayu, dan batu jadi bahan tawuran”. Upps. Hehehe. (I76)