“Di BPUI (Bahana Pembinaan Usaha Indonesia) sebesar Rp 20 triliun dan PIP sebesar Rp 2 triliun. BPUI ini ada hubungannya dengan penanganan Jiwasraya”. – Sri Mulyani, Menkeu
Kasus Jiwasraya emang jadi salah satu sentral pemberitaan nasional. Kasus hukum ini emang besar karena merugikan negara hingga Rp 16 triliun. Hmm, itu duit kalau dipakai buat beli nasi padang, bisa ngasih makan orang berapa negara ya? Uppps.
Isu Jiwasraya sendiri merembet kemana-mana dan disebut-sebut sebagai salah satu “perampokan” besar yang menguntungkan kelompok tertentu. Wih, sadis banget. Soalnya, akibat kasus ini ada jutaan nasabah perusahaan tersebut yang akan terdampak.
Makanya, pemerintah memutar otak gimana caranya menyelamatkan perusahaan ini. Cara yang kemudian ditempuh adalah lewat PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia alias BPUI yang adalah holding BUMN penjaminan dan perasuransian. BPUI disebut akan mendirikan asuransi baru bernama IFG Life.
Nah, kemudian Jiwasraya akan mengalami restrukturisasi sebelum akhirnya portofolio-portofolionya dipindahkan ke IFG Life. Intinya teknis bangetlah upaya ini.
Yang jelas, BPUI butuh dana yang cukup besar untuk melakukan hal ini. Makanya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengucurkan anggaran yang cukup besar. Menkeu Sri Mulyani menyebut penyertaan modal negara alias PMN untuk BPUI mencapai Rp 20 triliun pada tahun 2021 mendatang.
Jumlah ini meningkat 219 persen jika dibandingkan dengan yang didapat BPUI pada tahun 2020. Hmm, upaya yang baik juga untuk menyelamatkan nasib jutaan nasabah.
Tapi eh tapi, apa yang dilakukan oleh Sri Mulyani ini agak kontras dengan pos anggaran lainnya. Soalnya doi dikritik oleh Badan Anggaran DPR RI. Anggota Banggar dari Fraksi PKS, Sukamta misalnya, menyebut Sri Mulyani “pelit” untuk anggaran kompensasi bagi para prajurit TNI yang ada di wilayah terdepan, tertinggal dan terluar (3T).
Disebutkan bahwa para tentara yang bertugas di wilayah ini butuh untuk diperhatikan dan setidaknya diperlukan anggaran mencapai Rp 500 miliar untuk kompensasi kesejahteraan mereka.
Hmmm, jadi lumayan kontras juga ya antara Jiwasraya dan kompensasi bagi tentara ini. Bisa jadi memang Menkeu menilai kasus Jiwasraya lebih urgent untuk diselesaikan terlebih dahulu ketimbang persoalan kompensasi bagi tentara yang dianggap bisa ditunda dulu di tahun berikutnya.
Tapi, kalau kita melihat konteks bahwa Jiwasraya adalah kasus yang terjadi akibat “perampokan” uang nasabah, berasa jadi miris gitu nggak sih. Idealnya sih dua-duanya diperhatikan secara bersama-sama.
Jadi keingat kisah tentang Robin Hood yang merampok dari orang-orang kaya dan kemudian membagi-bagikan jarahannya kepada orang-orang miskin. Nah, kalau yang terjadi sekarang mungkin bisa dibilang duit negara diberikan untuk menambal hasil perampokan, ketimbang diberikan juga pada para tentara yang tentu saja sangat membutuhkan. Semacam reversal Robin Hood. Kayak Reversal Flash di seri Flash yang tayang di Netflix.
Well, apa pun itu, yang jelas Indonesia saat ini sedang ada dalam fase krisis ekonomi akibat Covid-19. Artinya, memang semuanya sedang butuh penyesuaian. Mari berharap pandemi ini segera berakhir. (S13)