“Tidak masalah kita melakukan itu (batalkan Perpres 75/2019). Artinya Kementerian Keuangan yang sudah transfer Rp13,5 triliun pada 2019 lalu, saya tarik kembali”. – Sri Mulyani, Menteri Keuangan
PinterPolitik.com
Bicara soal program-program kesejahteraan – misalnya terkait BPJS yang saat ini sedang ramai dipergunjingkan – memang membuat kita mau tidak mau kembali kepada pemahaman tentang intisari dari sistem kesejahteraan itu sendiri yang memang bertujuan untuk “mengatasi” ketidakmampuan kapitalisme pasar memberikan kesejahteraan untuk semua orang.
Beh, berat kali bahasanya.
Iyalah, beratnya tuh sama kayak yang dirasakan oleh masyarakat saat wacana kenaikan iuran BPJS diputuskan oleh pemerintah. Menkeu Sri Mulyani emang salah satu yang paling terdepan mendorong keputusan ini, mengingat BPJS diprediksi akan merugi hingga Rp 32 triliun jika iuran tak dinaikkan.
Tapi, Sri Mulyani kayaknya harus gigit jari deh. Soalnya, keputusan yang tertuang dalam bentuk Perpres tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Alasannya nggak ada dasar hukum yang bisa dipakai dalam kebijakan tersebut.
Hmmm, di satu sisi emang benar sih. Kalau BPJS dinaikkan iurannya, maka masyarakat kecil akan semakin kesulitan.
Tapi, jika sistem kesejahteraan tidak diatur dengan baik – kalau bahasanya sosiolog Inggris, Anthony Giddens, disebut sebagai “kesejahteraan positif” – suatu saat akan berdampak buruk untuk negara loh.
Kalau nggak percaya, bisa nih tengok kisah tentang Jerman Barat dan Jerman Timur. Pecahnya Jerman pasca Perang Dunia II ini adalah salah satu tonggak sejarah peradaban di Eropa.
Ini juga menjadi babak baru pertarungan dua ideologi dengan kapitalisme Amerika Serikat (AS) yang kuat mempengaruhi Jerman Barat dan komunisme Uni Soviet yang besar mempengaruhi Jerman Timur.
Selain karena benturan-benturan yang terjadi sepanjang Perang Dingin kala itu, Jerman Barat dan Jerman Timur kala itu juga menjadi saksi utama perkembangan sistem negara kesejahteraan dalam dua kutub yang berbeda.
Buat yang belum tahu, negara kesejahteraan adalah sebuah sistem sosial-ekonomi yang dilakukan dengan bertumpu pada program-program kesejahteraan sosial. Misalnya soal keberadaan asuransi pengangguran, asuransi ketenagakerjaan dan asuransi kesehatan.
Jerman Barat kala itu tumbuh menjadi negara industri, sehingga punya cukup anggaran untuk pembiayaan program-program kesejahteraan sosial.
Sementara Jerman Timur, sistem kesejahteraan tidak berjalan dengan baik. Ekonomi komando yang diterapkan menyebabkan Jerman Timur kesulitan membiayai anggaran sosial. Sistem ekonomi sosialis yang diterapkan sangat dipengaruhi oleh Uni Soviet pada saat itu.
Akibatnya, kemiskinan dan tingkat pengangguran sangat tinggi. Sementara sistem sosial yang ada malah semakin memberatkan anggaran negara. Sosiolog Jerman, Mario Rainer Lepsius, bahkan menyebut bahwa negara kesejahteraan Jerman Timur menjadi negara kesejahteraan pertama yang kolaps akibat beban anggaran sosialnya sendiri.
Beh, ngeri kali kisahnya. Sebenarnya, kondisi Jerman Timur itu mirip-mirip loh sama Indonesia, bukan dari ideologi ekonomi tentunya, melainkan dari sisi kondisi ekonominya. Indonesia saat ini emang sedang sulit secara ekonomi.
Pendapatan pajak turun, defisit anggaran terus terjadi, pertumbuhan ekonomi turun dari target, utang luar negeri makin besar, dan lain sebagainya. Artinya, bisa dipastikan beban kerugian BPJS akan jadi hal yang signifikan juga untuk negara keseluruhan.
Nah, jika pendapatan negara menurun, tetapi sistem kesejahteraan terus dipaksakan dengan pendapatan yang kecil, mungkin loh Indonesia bisa jadi kayak Jerman Timur. Wih, amit-amit deh. Jangan sampai terjadi ya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.