“Erick Thohir mendirikan Mahaka Group, konglomerasi yang fokus pada olahraga dan media hiburan, cetak, radio, dan televisi. Juga memiliki sejumlah klub sepak bola nasional dan internasional” – The Royal Islamic Strategic Studies Center
Apakah bertukar kartu nama masih relevan di era digital seperti sekarang ini? Ini adalah pertanyaan umum bagi kita semua yang telah mengalami disrupsi teknologi. Banyak budaya lama yang sudah ditinggalkan karena dianggap tidak efektif lagi.
Nah, persoalan kartu nama ini muncul menghias pagelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali kemarin. Tepatnya saat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir terlihat membagikan kartu nama kepada beberapa pemimpin dunia.
Terekam Erick memberikan kartu nama kepada Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergei Lavrov, lalu kepada Presiden Xi Jinping, dan, yang terakhir, saat menyambut Perdana Menteri (PM) Britania (Inggris) Raya Rishi Sunak sebelum memasuki The Apurva Kempinski, Bali.
Anyway, kartu nama yang merupakan kertas kecil yang berisi informasi pribadi atau sebuah perusahaan, rupanya punya sejarah panjang dan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan sosial dan politik loh.
Menurut berbagai catatan, kartu nama sudah mulai digunakan sejak awal abad ke-17 di Tiongkok. Kartu nama yang dalam bahasa Mandarin disebut minci ini berfungsi sebagai undangan khusus atau sebuah tanda akan datangnya tamu-tamu bangsawan.
Pada satu abad setelahnya, tepatnya pada abad ke-18, mulailah berkembang kartu nama di negara-negara Barat seperti Eropa. Secara spesifik, kartu ini digunakan untuk aktivitas perdagangan.
Mirip dengan negara Barat, kartu nama juga memiliki fungsi vital dalam perdagangan di Jepang. Masyarakat Jepang menyebut kartu nama dengan istilah meishi. Menariknya, bertukar kartu nama dengan benar adalah salah satu etika bisnis yang penting dalam dunia kerja di Jepang.
Nah, untuk menjawab apakah berbagi kartu nama masih relevan, jawabannya adalah bisa jadi masih relevan karena berbagai kartu nama saat ini mempunyai diferensiasi yang berbeda dengan hanya berbagi kontak melalui gadget.
Meski lebih praktis, terkadang gadget – bahkan dunia digital – tidak bisa diprediksi. Sewaktu-waktu data yang sudah ada bisa mendadak hilang, entah karena sistem error, lupa password, atau ponsel hilang.
Maka, kartu nama merupakan alternatif lain untuk tetap memperluas jaringan dan keep in touch dengan yang lain.
Tujuan “keep in touch” inilah yang menjadi pertanyaan publik selanjutnya. Seperti apa siasat di balik kartu nama yang dibagikan Erick kepada para pemimpin dunia? Bukankah Erick selama ini populer karena terkenal di dunia Internasional?
Pemandangan kontras ini yang menjadi sorotan karena mantan pemilik klub bola Italia, Inter Milan, ini rupanya tidak sepopuler yang dibayangkan.
Apakah mungkin kita terjebak ilusi citra ketika melihat Erick sebagai pemilik klub besar dunia sehingga melupakan realitas nyata lainnya, bahwa relasi sosial tidak sepenuhnya terbangun akan citra yang kita buat.
Hal ini pernah diungkapkan oleh Guy Debord di dalam bukunya Society of the Spectacle yang menjelaskan bahwa tontonan yang menampilkan citra-citra tidak sepenuhnya dapat menjelaskan relasi sosial yang sebenarnya.
Tontonan dan citra berperan sebagai penentu kita untuk menarik kesimpulan relasi secara subjektif atas bentuk hubungan antara kelompok-kelompok sosial, hubungan kelas, status, atau gaya hidup.
Kayak-nya, kita yang terlalu besar memberikan “ekspektasi” kepada Erick dengan prestasi-prestasinya di luar sana sehingga, ketika melihat ia memberikan sebuah kartu, kita langsung melontarkan banyak pertanyaan.
Hmm, atau jangan-jangan kita salah menebak kalau kartu yang diberikan Erick itu sebenarnya bukanlah kartu nama, tapi kartu “sakti” yang biasa dilakukan calon-calon presiden (capres) saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres)? Uppsss. Hehehe. (I76)