“Bicara idealisme, bicara ideologi, bicara nasionalisme, itu kok rasanya ada pada saya di saat perjuangan kepada rakyat itu. Kok yang selama ini saya lakukan saat menjabat, dan tanpa ragu sedikit pun siap mati untuk PDIP,” – Letjen (Purn) Ganip Warsito, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Setelah pensiun dari TNI, Letjen (Purn) Ganip Warsito menyatakan bergabung dengan PDIP. Menariknya, muncul ungkapan ”siap mati” untuk PDIP yang jadi sorotan publik
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu dengan penuh keyakinan mengaku siap mati untuk partai berlambang banteng itu. Tentu, hal ini bisa jadi dipahami sebagai bentuk militansi. Namun, apakah ini militansi yang wajar?
Anyway, dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan siap mati bukanlah ungkapan yang akrab. Sebaliknya, kita sering mendengar seseorang lebih “takut mati” dibandingkan siap mati.
Masuk akal jika seseorang takut mati karena kematian adalah ketidakpastian dan secara alami manusia cenderung takut terhadap sesuatu yang tidak pasti atau yang mereka tidak ketahui.
Hal ini mirip dengan ungkapan Dan Brown dalam novelnya The Lost Symbol (2009) yang berbunti, “We all fear what we do not understand.” Artinya adalah kita semua takut pada apa yang kita tidak pahami.
Kembali ke persoalan siap mati, pendekatan psikologi sudah lama melihat fenomena unik ini. Mereka melihat terdapat unsur pemahaman tentang persoalan “moralitas” yang mempengaruhi keberanian untuk siap mati.
Jika kita selidiki, istilah moralitas berasal dari bahasa Latin yakni mos atau moris yang dalam terjemahannya berarti adat, kebiasaan, atau watak.
Dengan kata lain, moralitas mengajarkan seseorang memahami apa yang “moral”, yaitu apa yang menjadi milik dirinya sendiri sehingga “ko–eksistensi” dengan orang lain dimungkinkan.
Para pakar menghubungkan konsep moralitas dengan ko–eksistensi individu dalam masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh psikolog dan pendidik asal Amerika Serikat (AS) bernama Lawrence Kohlberg.
Kohlberg memperkenalkan enam tahapan perkembangan moral yang dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan – yakni pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Pada tingkat pasca-konvensional, Kohlberg memperlihatkan kalau moralitas seseorang akan menyentuh aspek-aspek sifatnya abstrak, seperti keadilan ataupun nilai-nilai yang oleh kelompok abstrak diyakini benar adalah demokrasi.
Nah, pada level ini juga, seseorang akan siap melakukan apapun demi keadilan atau demi kelompok abstrak seperti negara – termasuk siap mengorbankan nyawa atau siap mati.
Kembali ke konteks Pak Ganip yang siap mati demi PDIP, fenomena ini menyisakan banyak pertanyaan. Salah satunya adalah apakah level partai politik (parpol) sudah masuk pada tingkatan pasca-konvensional yang dijelaskan oleh Kohlberg di atas.
Sebagai seorang mantan prajurit, Pak Ganip seharusnya siap mati untuk bangsa dan negara – yang tingkatnya jauh lebih tinggi dibandingkan partai politik. Bukankah nasionalisme lebih tinggi dibandingkan politik -isme?
Hmm, atau jangan-jangan pernyataan ini sebenarnya bukanlah keduanya, melainkan hanya persoalan ungkapan seorang politisi yang akrab dengan kalimat yang dilebih-lebihkan.
Hannah Arendt dalam tulisannya Truth and Politics mengungkapkan bahwa kebenaran dan politik memiliki hubungan yang agak buruk satu sama lain. Sering kali amplifikasi ungkapan yang berlebihan selalu dianggap sebagai alat penting dan dibenarkan dalam politik.
By the way, pernyataan Pak Ganip siap mati mengingatkan kita pada lagu Ada Band yang berjudul “Haruskah Ku Mati” dengan penggalan liriknya yang berbunyi:
Haruskah ku mati karena mu
Terkubur dalam kesedihan sepanjang waktu
Haruskah kurelakan hidupku
Hanya demi cinta yg mungkin bisa membunuhku
Well, jangan-jangan Pak Ganip ini sebenarnya salah satu fans Ada Band kali ya? Uppss. Hehehe. (I76)