Site icon PinterPolitik.com

Siapa Sebenarnya Musuh Negara?

Siapa Sebenarnya Musuh Negara?

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana (Foto: Suara.com)

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko memperingatkan atas bahaya gerakan kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang disebutnya telah masuk ke berbagai elemen masyarakat. Apakah NII adalah musuh sebenarnya negara saat ini?


PinterPolitik.com

Menurut ahli strategi Sun Tzu dalam bukunya The Art of War, untuk menghindari kejatuhan negara, mutlak dilakukan deteksi sedini musuh atas setiap potensi musuh dan mara bahaya. Nasihat Sun Tzu ini yang tampaknya tengah dipegang oleh berbagai elite politik negeri.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, misalnya, baru-baru ini memberi komentar soal bahaya gerakan kelompok Negara Islam Indonesia (NII). 

“Jangan salah, itu sudah berada di tengah-tengah kita. Siapa yang menjadi unsur-unsur yang terpengaruh? Melalui ASN, melalui aparat keamanan, melalui mahasiswa, melalui berbagai institusi dan termasuk pengusaha,” ungkap Moeldoko pada 24 April.

Melihat fakta sejarah, apa yang diwanti-wanti Moeldoko dan berbagai pihak lainnya tentu sangat beralasan. Bagaimana pun, pergerakan NII perlu untuk diwaspadai.

Namun, jika merujuk kembali pada nasihat Sun Tzu, apakah tepat mengatakan NII adalah musuh utama kita saat ini? 

Pertanyaan ini penulis lontarkan karena teringat dengan buku Rolf Dobelli yang berjudul The Art of Thinking Clearly. Dalam salah satu bagian bukunya, Dobelli menjelaskan soal bias kognitif yang disebut dengan  availability bias atau bias ketersediaan. 

Yang menarik, menurut Dobelli, bias ini telah membuat kita lebih takut kepada kecelakaan pesawat dan terorisme daripada kecelakaan lalu lintas. Kalau melihat statistiknya, korban dari kecelakaan pesawat dan terorisme sebenarnya tidak sebanyak kecelakaan lalu lintas. Bahkan, tidak seperti kecelakaan motor atau mobil yang terjadi setiap hari, kecelakaan pesawat atau kasus bom bunuh diri amatlah jarang terjadi.

Menurut Dobelli, ketakutan itu terjadi karena kita terjebak dalam bias ketersediaan. Bias ini membuat kita cenderung mengingat fenomena berdasarkan informasi yang paling sering dan mudah kita temukan. Sekarang coba perhatikan, tidak seperti kecelakaan lalu lintas yang tidak mendapat pemberitaan heboh, kecelakaan pesawat dan terorisme pasti menjadi headline pemberitaan selama berminggu-minggu.

Dalam bagian bukunya yang lain, Dobelli juga menjelaskan soal scarcity error, yakni bias kognitif yang membuat kita memahami kelangkaan pasti sangat bernilai atau berharga.

Nah, karena kecelakaan pesawat dan terorisme jarang terjadi, ketika dua fenomena itu terjadi, scarcity error kemudian terjadi. Akibatnya, media massa dan media sosial meresponsnya sebagai kejadian luar biasa dan dibicarakan selama berminggu-minggu.

Intensitas pembicaraan ini menciptakan bias ketersediaan, sehingga membuat kita cenderung lebih takut pada kecelakaan pesawat dan terorisme daripada kecelakaan lalu lintas.

Penjelasan Dobelli bukan mengatakan kita jangan takut pada kecelakaan pesawat atau terorisme, tetapi memberi penekanan bahwa kita sering kali melupakan bahaya yang lebih dekat.

“Musuh” yang Lebih Dekat?

Nah, nasihat Dobelli itu sangat tepat untuk kita pegang saat ini. Kalau kita perhatikan fenomena politik terbaru, bahaya negara tampaknya lebih besar dan dekat berasal dari internalnya sendiri. 

Baru-baru ini, misalnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag) Indrasari Wisnu Wardhana sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). 

Sangat menarik melihat, setelah beberapa lama diusut siapa mafia di balik kelangkaan minyak goreng beberapa waktu yang lalu, mafianya ternyata berada di tubuh Kemendag itu sendiri. 

Kasus ini, dan tentunya berbagai kasus lainnya membuat kita teringat pada adagium tua, “duri dalam daging” atau thorn in the flesh. Menariknya, adagium ini ternyata berasal dari Perjanjian Baru (New Testament). 

Ini tentu menjadi kritik vital bagi negara. Pasalnya, seperti yang telah dipaparkan dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Membaca Siapa “Musuh” Jokowi, pemerintah tampaknya disibukkan dengan berbagai isme dan kelompok yang berpotensi menjadi ancaman dan musuh negara.

Jika diperbolehkan sedikit memberi saran, alih-alih melihat ke luar siapa saja yang potensial menjadi musuh, mungkin pemerintah perlu melihat ke dalam untuk mengetahui apakah duri dalam dagingnya sudah dicabut atau tidak. 

Jika tidak, duri yang masih tertanam akan menciptakan kebusukan sistem dan kemerosotan politik. Imbasnya akan besar dan meluas.  

Sebagai penutup, tentu tidak salah pernyataan Moeldoko dan berbagai pihak lainnya bahwa NII dan kelompok ekstremis lainnya berbahaya. Namun, kewaspadaan itu jangan sampai membuat kita lupa atas bahaya yang lebih dekat, yakni perilaku tidak bertanggung jawab dari para pemegang kuasa. (R53)

Exit mobile version