Site icon PinterPolitik.com

Serangan Fajar atau “Serangan Ganjar”?

serangan fajar atau serangan ganjar

Olahraga pagi Ganjar Pranowo menyusuri jalanan kecil. (Foto: Humas Jateng)

Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo kembali ke Purbalingga, Jateng, membawa se-gepok uang tunai. Uang ini ia bagi-bagikan ke masyarakat sekitar. Apakah ini strategi politik pilihan Ganjar untuk memenangkan ‘hati’ masyarakat?


PinterPolitik.com

“Well, that’s what I call a recipe for disaster.” – Dallas Buyers Club (2013)

Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo diisukan sebagai calon presiden terkuat dari partai PDIP. Meskipun belum ada deklarasi resmi dari PDIP, Ganjar sudah cukup aktif melakukan manuver politiknya sendiri untuk membentuk basis massa.

Salah satunya adalah strategi bagi-bagi uang tunai kepada masyarakat yang diunggah di TikTok @ganjarpranowofc. Dalam video TikTok yang diunggah pada 3 Februari lalu, Ganjar terlihat sedang berlari santaimelintasi Kabupaten Purbalingga, Jateng. Sembari berlari, Ganjar menyalami beberapa pedagang kaki lima, tukang becak, petugas kebersihan, dan elemen masyarakat lainnya yang sering kali diasosiasikan sebagai wong cilik.

Tidak perlu seorang detektif untuk melihat bahwa Ganjar tengah melakukan “salam tempel” kepada orang-orang yang ia temui sepanjang rute jogging-nya di Purbalingga. Di video tersebut, beberapa orang terdengar mengutarakan rasa terima kasihnya dengan mengucap, “Alhamdulillah.”

Video ini menuai opini miring dari masyarakat. Pasalnya, Ganjar dianggap terang-terangan melakukan praktik politik uang. Apakah politik uang adalah strategi politik pilihan Ganjar?

Terdapat berbagai macam strategi politik yang dapat digunakan oleh seorang kandidat politik. Dalam kasus video TikTok Ganjar, strategi yang digunakan bernapaskan populisme dan patronase.

Dalam buku Tentang Kuasa, Mas’udi mendefinisikan populisme sebagai strategi seorang pemimpin politik untuk menarik simpati massa dengan mendekatkan diri kepada masyarakat untuk menciptakan kesan bahwa pemimpin politik ini terpisah dari para elite politik.

Sementara, dalam buku Politik Uang, Aspinall dan Sukmajati memahami patronase sebagai distribusi materi – seperti barang, jasa, atau keuntungan ekonomi lainnya – oleh politisi atau kandidat kepada pemilih untuk memperoleh dukungan politik.

Dalam praktiknya, patronase seringkali bersinggungan dengan klientelisme, yakni relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung yang sifatnya personalistik. Relasi klientelistik ini akan membentuk suatu hubungan yang timbal balik, hierarkis, dan iterative (berulang). 

Praktik membagi-bagikan uang tunai saat jogging yang dilakukan Ganjar menggabungkan populisme dan patronase. Strategi ini populis sebab targetnya adalah masyarakat kecil dengan profesi seperti tukang becak, tukang sayur, dan tukang sapu jalan. Selain itu, “salam tempel” ini dilakukan di tengah aktivitas sederhana, yakni lari santai di jalanan kota.

Di sisi lain, praktik ini juga merupakan wujud patronase meskipun setengah-setengah. Memang terjadi distribusi materi berupa uang tunai. Akan tetapi, tidak terbentuk hubungan timbal balik yang mengikat antara Ganjar dan orang-orang yang ia beri uang.

Hubungan patron-klien jarang terbentuk hanya dari satu kali interaksi. Sebab, ada aspek pengulangan yang perlu terjadi agar muncul ikatan personal antara penerima uang dan pemberi uang. Tanpa ikatan personal ini, tidak ada beban moral balas budi bagi penerima uang untuk memberikan dukungan politik mereka kepada Ganjar. 

Rasanya, strategi politik Pak Ganjar seperti “serangan fajar” yang nanggung. Atau mungkin serangan fajarnya kesiangan ya, Pak? Apakah jadinya namanya “serangan Ganjar”? Hehe.

Yah, terlepas dari itu, mencampur gaya politik populis dengan patronase adalah resep politik yang sangat berbahaya mengingat pandangan buruk masyarakat mengenai gaya kampanye populis dan praktik politik uang. Di sini, citra politik Pak Ganjar, lho, yang menjadi taruhannya. (A89)


Exit mobile version