“Acara silaturahmi diawali makan malam dengan menu nasi goreng racikan SBY” – Herzaky Mahendra Putra, Juru Bicara (Jubir) Partai Demokrat
Apa solusi yang tepat bila ada nasi semalam yang belum habis? Mungkin, jawaban yang umum adalah dengan mengolahnya menjadi nasi goreng.
Nasi goreng merupakan salah satu sajian nasi yang dimasak kembali dengan cara digoreng dengan berbagai bumbu. Meski begitu, hidangan ini adalah salah satu kuliner khas Indonesia yang kerap menjadi andalan – mulai di pedagang kaki lima (PKL) sampai ke restoran-restoran berbintang.
Baru-baru ini, kuliner khas Indonesia ini marak dibicarakan. Hal ini berhubungan dengan sajian makanan saat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima kunjungan silaturahmi Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera KH. Salim Segaf Al-Jufri di Cikeas, Bogor, Jawa Barat (Jabar).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan bahwa pertemuan kedua petinggi partai itu membahas soal kerja sama kedua partai ke depannya dan juga isu penundaan pemilu yang mulai hangat lagi.
Anyway, keterkaitan antara nasi goreng dan SBY sebenarnya bukanlah hal yang baru. Hal ini dijelaskan oleh Wakil Sekjen (Wasekjen) DPP Partai Demokrat Ossy Dermawan yang mengungkapkan kalau SBY memang memiliki hobi memasak nasi goreng.
Bahkan, di awal 2021, pernah ada acara internal Demokrat dengan baliho besar yang bertuliskan “Nasi Goreng ala SBY”. Terdapat sosok SBY sedang memasak nasi goreng bersama Almh. Ani Yudhoyono.
Sedikit memberikan konteks perbandingan, dulu Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri juga pernah viral memasak nasi goreng ketika menjamu Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Berbicara soal nasi goreng memang tidak hanya bicara sekedar kuliner. Makanan yang dikenal “merakyat” itu sudah menjadi komoditas politik. Hal ini karena semua kalangan menyukai nasi goreng. Buktinya makanan ini ada mulai dari restoran hingga pedagang di pinggir jalan.
Dalam literatur Hubungan Internasional (HI), peristiwa negosiasi menggunakan makanan biasa disebut dengan gastrodiplomasi. Biasanya, diplomasi semacam ini untuk membangun pemahaman lintas budaya.
Pemahaman lintas budaya memiliki peran yang penting dalam kepentingan diplomasi sebuah negara. Jika sebuah negara bisa memahami budaya, dialog persuasi akan terbuka, dan semua itu akan mempengaruhi keputusan politik.
Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Murdijati Gardjito, mengatakan bahwa makanan memang selalu menjadi sarana diplomasi yang baik. Dalam sepiring nasi goreng, terdapat harapan baik yang tersirat.
Diplomasi melalui makanan sepertinya tepat dilakukan di Indonesia. Hal ini karena budaya kita yang selalu mengutamakan sopan santun dan sebuah adab kelembutan dalam berkomunikasi.
Paul S. Rockower dalam tulisannya Gastrodiplomacy in International Relations mengatakan bahwa diplomasi makanan tidak menggunakan pengaruh advokasi secara langsung, melainkan mengandalkan hubungan emosional yang lebih lembut.
By the way, bicara soal makanan dan diplomasi, ada nih film dokumenter yang berjudul Kersanan Ndalem (2015). Film karya sutradara Dona Roy ini menceritakan tentang berbagai macam makanan kesukaan Raja Keraton Ngayogyakarta dari masa ke masa.
Film ini menceritakan sisi lain dari masakan Jawa yang kaya akan rempah. Uniknya, makanan tidak hanya dianggap sebagai pengisi perut, melainkan juga dapat menjadi alat diplomasi dengan penjajah di masa dahulu.
Well, sejak dahulu, raja-raja di Nusantara sudah mempraktikkan gastrodiplomasi. Oh iya, kok pertemuan “raja-raja” hanya Demokrat dan PKS aja ya? “Raja” dari NasDem kok gak diundang? Hehehe. (I76)