“Pak SBY membantah, ‘Tidak benar saya jadi the golden boy’ kan begitu, bantah saja. Tapi kalau kita bicara dengan banyak orang, itu gelar the golden boy of America” – Zulfan Lindan, Politisi Partai NasDem
Baru-baru ini, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau yang akrab disapa Ibas menyanggah narasi yang menuduh kalau Partai Demokrat punya relasi kuat dengan Amerika Serikat (AS).
Ibas menyebut bahwa Demokrat dan juga Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak pro terhadap AS maupun Tiongkok, tapi pro Indonesia. Bahkan, menurutnya, SBY adalah golden boy of Indonesia.
Sedikit memberikan konteks, narasi SBY bahwa merupakan tokoh yang menjadi Golden Boy of America pertama dilontarkan oleh politikus Partai NasDem, Zulfan Lindan. Ia menduga selama menjabat menjadi presiden, SBY merupakan anak emas Negeri Paman Sam karena kebijakan politik yang mengarah ke sana.
Demokrat tentunya menolak anggapan seperti itu. Mereka menilai, di era kepemimpinan SBY, Indonesia punya hubungan baik dengan China dan AS. Hal ini dapat dilihat dari kunjungan yang proporsional antara kedua negara besar itu.
Bahkan, hal ini diperkuat dengan filosofi utama kebijakan luar negeri Indonesia di era SBY, yaitu “all foreign direct policy with millions friends, zero enemy”. Ini adalah sebuah kebijakan untuk menampung seluruh teman dan menjauhi permusuhan.
Anyway, nalar kebijakan politik semacam ini mirip dengan konsep strategi bisnis yang berangkat dari ungkapan “don’t put all your eggs in one basket”, secara harfiah artinya “jangan meletakkan semua telur dalam satu keranjang”.
Strategi ini menganjurkan kita untuk tidak menginvestasikan semua uang kita pada satu investasi karena jika investasi ini tidak menghasilkan, maka semua uang kita akan hilang.
Dalam konteks politik, hal yang sama juga terjadi. Bayangkan jika kita hanya dekat dengan satu pihak maka, kemungkinan untung hanya pada satu pihak saja. Meski terkesan oportunis, konsep ini menjadi yang paling masuk akal untuk diterapkan dalam pergaulan internasional.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi membenarkan adanya foreign electoral intervention yang berlaku dalam politik global. Memang terjadi campur tangan asing terhadap pemilu di beberapa negara.
Menurut data yang ia paparkan, tercatat AS pernah mengintervensi 81 kasus pemilu, dan pesaingnya Rusia yang dulu Uni Soviet sebanyak 36 kasus. Tapi, fakta di lapangan tidak seluruhnya intervensi asing itu berhasil dilakukan.
Ini karena sejauh ini intervensi asing hanya berkutat pada tingkat elite. Sementara pemilihan umum (pemilu) sangat ditentukan oleh preferensi politik masyarakat bukan preferensi pihak asing.
Hmm, jadi lucu juga sih kalau hanya cerita pendek Pak Zulfan Lindan tentang pengalamannya di tahun 2003 bisa jadi bukti kalau AS berpihak kepada SBY. Alih-alih mendukung SBY, mungkin AS dan Tiongkok saja sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk ikut campur.
Jadi ingat cerita yang sering kita dengar saat bersenda gurau dengan teman. Sering kali kita dilarang berdua-duaan karena pasti ada yang ketiga. Nah, yang ketiga biasa merujuk ke hantu.
Dalam konteks SBY, jika AS diumpamakan hantu yang mengintervensi atau mengganggu, bisa saja hantu itu malah buka suara, “Kok kenapa aku sering difitnah manusia ya? Setiap ada yang berdua, aku selalu yang dituduh jadi yang ketiga, emang aku apaan?” Hahaha. (I76)