Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengusulkan agar hari kejepit dijadikan tanggal merah guna meningkatkan pariwisata Indonesia. Apakah Sandiaga mendukung agar kita lebih mudah healing?
I can give it to you right, babe. Oh, I wanna be your healing. I can be real good” – Summer Walker, “Girls Need Love” (2019)
Bisa dibilang akhir-akhir ini kita belum mendapatkan tanggal merah yang kita deserve. Gimana nggak? Sejak tanggal merah pada 17 Agustus 2022 lalu, tanggal merah hingga Januari 2023 justru jatuh pada hari Sabtu atau hari Minggu.
Di bulan Januari 2023 ini aja, tanggal merah seperti Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 22 Januari pun ternyata hari Minggu. Tanpa kita sadari, tanggal merah yang sejati baru akan tiba pada bulan ketiga tahun 2023, tepatnya pada 22 Maret 2023 yang merupakan Hari Suci Nyepi.
Jelas, bagi kaum pekerja dan budak korporat seperti kebanyakan dari kita, healing (menyembuhkan diri) adalah sebuah kegiatan yang dinanti-nanti tuh. Kadang, mau ngajuin cuti pun nggak enak sama atasan.
Untung aja nih, guys, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno punya usulan yang menarik, yakni dengan menjadikan hari kejepit nasional (harpitnas) jadi tanggal merah juga. Katanya sih, tujuannya agar destinasi wisata dapat dipenuhi wisatawan sehingga peluang usaha dan lapangan kerja bisa tercipta sebanyak-banyaknya, guys.
Menarik nggak tuh? Kalau kebijakan-kebijakan seperti ini, udah hampir pasti sebagian besar dari kita nge-dukung tuh? Ya kali nggak setuju? Hehe.
Hmm, tapi nih, emang-nya apa nggak ada konsekuensinya tuh kalau jumlah hari libur kita jadi banyak – katakanlah dampaknya terhadap dinamika politik? Nah, jelas pasti ada dong.
Mengacu pada buku The Politics of National Celebrations in the Arab Middle East karya Elie Podeh, public holidays (hari libur umum) memang juga memiliki fungsi politik. Salah satunya adalah menjadi cara pemerintah untuk menunjukkan legitimasi mereka.
Mengutip dari tulisan Clifford Geertz yang berjudul Centers, Kings, and Charisma, Podeh menjelaskan bahwa para pemegang kekuasaan menjustifikasi kekuasaan mereka dengan memanfaatkan koleksi kisah yang berasal dari masa lalu – atau bahkan sesuatu hal yang dibuat.
Mungkin, ini menjadi cara Pak Sandi untuk menunjukkan pengaruh dan legitimasi yang ia miliki. Secara nggak langsung, sebagai politikus sekaligus pejabat publik, Pak Sandi ingin bilang, “Ini lho gue juga bisa bikin kebijakan yang besar.”
Hmm, kalau emang benar begitu, buat apa ya Pak Sandi bikin kebijakan begituan? Bisa jadi, sang Menparekraf juga ingin lebih dikenal dengan baik oleh masyarakat luas yang tengah haus akan healing nih.
Soalnya nih, mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Libur Nasional, Politik Jokowi?, hari libur memang bisa jadi salah satu kebijakan populis yang dimanfaatkan penguasa dan elite politik. Hmm, siapa tahu, kan, ini bisa menguntungkan Pak Sandi kalau beneran jadi maju sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 – katakanlah lewat PPP? Hehe.
Ya, terlepas benar atau tidaknya alasan politik di balik usulan kebijakan ini, mungkin kita yang hanya budak-budak korporat ini akhirnya bisa punya kesempatan healing lebih banyak – kalau kebijakan beneran jadi lho ya. Hehe. (A43)