“Dapat dipahami bahwa aturan pidana perzinaan sangat erat kaitannya dengan perilaku moral. Namun, sesungguhnya perbuatan itu termasuk pada ranah privat yang seharusnya tidak diatur oleh negara dan tak dianggap sebagai perbuatan pidana,” – Hariyadi Budi Santoso, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)
Kini sedang ramai di beberapa pemberitaan dan media sosial (medsos) terkait pelaku usaha pariwisata yang menyoroti pasal perzinaan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP).
Aturan yang tertuang di Pasal 415 ayat (1) RKUHP berbunyi, “setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Sementara, Pasal 415 ayat (2) RKUHP menyatakan, “Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan: a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau b. orang tua atau anaknya bagi yang tidak terikat perkawinan.”
Merespons hal tersebut, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Budi Santoso menyatakan bahwa pasal perzinaan yang dimasukkan ke dalam draf RKUHP bakal merugikan dunia usaha – terutama bidang pariwisata dan perhotelan.
Hariyadi melihat adanya potensi dari substansi yang ada pada pasal perzinaan tersebut, membuat wisatawan beralih ke negara lain, sehingga menurunkan pariwisata Indonesia.
Anyway, jika ditarik dalam konteks politik dan pemerintahan, persoalan ini akan berdampak pada kinerja Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno.
Terlebih, saat ini Sandi tengah menyiapkan program “Bangga Berwisata di Indonesia” yang merupakan salah satu strategi untuk lebih cepat membangkitkan pariwisata domestik yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Dalam konteks pasal RKUHP yang sedang viral, Sandi merespons hal itu dengan mengatakan bahwa pariwisata di Indonesia haruslah merupakan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan.
Dia memberikan contoh Thailand dan juga Las Vegas di Amerika Serikat (AS). Selama ini, kedua tempat itu mendapat stigma sebagai “surga” dunia karena aturan yang bebas. Namun, Sandi menyebutkan bahwa semua mulai berubah karena tuntutan jaman.
Berdasarkan literasi ilmu politik, menjadikan institusi sebagai instrumen politik merupakan sesuatu yang wajar karena, dengan lembaga itulah, nilai-nilai yang diperjuangkan dalam politik dapat teramplifikasi.
Sebagai seorang menteri yang memunyai kuasa menggerakkan lembaganya, Sandi mampu mengonversi ancaman RKUHP yang mengandung pasal perzinaan menjadi produk politik yang berguna bagi banyak pihak.
David Easton dalam bukunya Approaches to The Study of Politics menggambarkan bagaimana peran lembaga atau institusi – termasuk institusi pemerintah – dapat menjadi media perjuangan politik individu ataupun kelompok tertentu.
Bagi Easton, institusi dapat menjadi tempat tersambungnya alokasi nilai-nilai sosial yang diperjuangkan dalam politik – yang mana ia sebut dengan istilah “the authoritative allocation of social value”.
Hmm, selama perjuangan politiknya demi bangsa dan negara sih, mungkin semua sepakat yang jadi masalah jika perjuangan politiknya hanya untuk kepentingan pribadi dan sekelompok orang saja. RKUHP ini selalu dan jadi sorotan bagi hampir semua elemen pernah melakukan protes melalui demonstrasi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) ini.
Jadi kepikiran, jika memang persoalan “traveling” dan “healing” bisa jadi pidana, bisa-bisa yang protes bukan mahasiswa, melainkan pegawai-pegawai RedDoorz, OYO, dan, mungkin, MiChat juga kali ya? Uppss. Hehehe. (I76)