“Yang orang sebelum Covid aja susah sekolahnya, apalagi sekarang Covid. Orang tuanya nggak kerja, makan susah”. – Yandri Susanto, Ketua Komisi VIII DPR
Covid-19 memang menjadi persoalan besar, bukan hanya karena dampaknya yang terasa hampir di semua lini kehidupan, tetapi juga karena beban psikologis yang ditimbulkannya.
Leo Sher dalam tulisannya untuk QJM: An International Journal of Medicine, menyebutkan bahwa Covid-19 meningkatkan efek stress dan beban psikologis yang lahir akibat kecemasan, ketidakpastian hidup, tuntutan ekonomi yang makin berat dan sulit, serta berkurangnya relasi sosial akibat pembatasan-pembatasan yang dilakukan.
Tak heran, banyak ahli psikologi yang memprediksi akan adanya peningkatan angka bunuh diri akibat pandemi ini. Duh, makin ngeri aja dampaknya.
Sayangnya, beberapa kebijakan pemerintah justru terkesan belum memperhitungkan efek psikologis tersebut. Contohnya, kebijakan belajar online menyebabkan tekanan psikologis besar buat anak-anak di pedalaman yang nota bene belum mampu mengakses gadget dan internet.
Hal serupa juga terjadi pada kebijakan sepihak Kementerian Agama memangkas dana BOS sebesar Rp 100 ribu per siswa madrasah. Kebijakan ini membuat Menag Fachrul Razi dikritik habis-habisan oleh DPR.
Bukannya gimana-gimana ya, di tengah pandemi seperti ini, pendapatan keluarga-keluarga cenderung berkurang. Sehingga, potongan Rp 100 ribu itu bisa saja terasa sangat memberatkan untuk orang tua dan anak-anak sekolah.
Beh, ini mah udah kelewatan ya. Harusnya, kalau memang akan ada pemangkasan, yang dipotong itu anggaran yang sifatnya untuk belanja-belanja yang kurang penting.
Sebetulnya, memang bisa dipahami bahwasanya pemerintah tengah mengencangkan ikat pinggang dan berusaha dengan segala cara agar Indonesia bisa “bertahan” di tengah resesi ekonomi yang sudah ada di depan mata.
Namun, dalam konteks Menag Fachrul, ini jadi kayak lanjutan dari kritikan panjang untuk sang menteri. Sejak awal ditunjuk oleh Pak Jokowi, memang sudah ada tajuk besar bahwa posisinya cenderung dianggap salah tempat oleh banyak pihak.
Latar belakangnya di bidang militer dianggap nggak nyambung dengan posisi di Kementerian Agama. Banyak orang juga menyebutkan bahwa kabinet Pak Jokowi cenderung bernuansa deradikalisasi di mana Menag Fachrul memang ditugaskan untuk membendung radikalisme lewat gerbang Kementerian Agama.
Maka nggak heran muncul program macam sertifikasi penceramah dan lain sebagainya kini diupayakan oleh sang menteri.
Hmm, mungkin Pak Menag kudu lebih memperhatikan kritikan-kritikan DPR itu. Soalnya bakal jadi narasi besar di masyarakat. Apalagi di tengah mencuat wacana reshuffle kabinet dan sejenisnya.
Dan yang paling penting, coba lagi deh ditinjau pemangkasan anggaran BOS buat para siswa madrasah. Jangan sampai beban pskilogis yang ditimbulkan bikin banyak orang bunuh diri. Duh. (S13)