Site icon PinterPolitik.com

Saatnya Ganjar Balas Jasa Puan?

Saatnya Ganjar Balas Jasa Puan?

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Ketua DPR RI Puan Maharani. (Foto: RMOL)

“Ganjar itu jadi Gubernur (Jateng) jangan lupa, baik yang pertama dan kedua itu, justru panglima perangnya Puan Maharani,” –   Said Abdullah, Ketua DPP PDIP


PinterPolitik.com

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita dibuat serba salah jika mempunyai utang budi terhadap orang lain. Seperti kata peribahasa, “Utang emas dapat dibayar tetapi utang budi dibawa sampai mati.

Bahkan, tidak sulit untuk menemukan ungkapan ini di pentas politik negeri ini. Peribahasa ini sering digunakan oleh orangorang yang berkepentingan, yaitu para elite di panggung politik.

Bagi politisi ungkapan ini bisa menjadi semacam kesempatan menagih utang politik yang pernah diberikan sebelumnya. Sebagaimana elite yang sudah terlanjur memiliki utang budi, pastinya tidak dapat menolak permintaan orang yang telah memberinya jasa.

Mungkin hal yang mirip terlihat ketika Ketua DPP PDIP Said Abdullah menceritakan bagaimana hubungan antara Ketua DPR RI Puan Maharani dengan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo.

Said menolak adanya benturan ataupun silang pendapat antara kedua kader PDIP tersebut. sIa menegaskan bahwa baik Ganjar maupun Puan merupakan kader PDIP yang saling mendukung satu dengan lainnya.

Bahkan, ketika Ganjar Pranowo berhasil menjadi Gubernur Jateng pada periode pertama dan kedua- rupanya Puan Maharani sendiri yang merupakan komandan tempur pemenangan yang ada di lapangan.

Kenyataan ini yang membuat Ganjar maupun Puan yang sama-sama kader PDIP yang tidak bisa dibentur-benturkan.

Lebih lanjut, Said menceritakan sikap Ganjar yang harusnya patuh terhadap hasil kongres, yakni keputusan terkait mandat Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri yang mempunyai kewenangan menentukan calon presiden (capres) dari PDIP.

Puan Jadi Panglima Perang Ganjar?

Anyway, cerita soal balas budi sering kali menjadi narasi atau instrumen untuk menundukkan lawan, apalagi ada ikatan ideologis yang kuat seperti partai politik yang seolah-olah membelenggu kadernya untuk patuh terhadap kultur partai.

Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya Democracy For Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia melihat bahwa budaya patron–klien atau klientelisme tumbuh subur dalam percaturan politik Indonesia.

Cara pandang ini melihat bahwa klientelisme menjadi pemicu tumbuhnya dan berkembangnya politik uang (money politics) dan premanisme politik. Dua hal itu menjadi strategi umum para politisi untuk menundukkan dan menjinakkan lawan.

Dalam konteks klientelisme ini, terlihat juga upaya elite politik untuk menundukkan lawan politiknya dengan menggunakan instrumen balas budi. Tidak sedikit dari mereka menawarkan dua pilihan – mau ada “balas budi” atau yang akan muncul nantinya “balas dendam”.

Yap, begitulah kejamnya panggung politik. Sampai-sampai, ungkapan Thomas Hobbes soal homo homini lupus (manusia bagaikan serigala bagi manusia lainya) itu nyata adanya.

Hmm, bisa jadi pada akhirnya Ganjar harus ngalah dong ya sama Puan? Kan, harus balas budi dan taat keputusan partai.

Pilihannya jadi sulit ya kalau soal balas budi. Jadi ingat perkataan komedian Cak Lontong yang mengatakan, “Berhentilah menuntut balas budi karena belum tentu Budi yang melakukannya”. Nah loh, maksudnya apa nih? Hehehe. (I76)


Jika Megawati Tak Jadi Presiden
Exit mobile version