HomeCelotehSaat Johnny Plate Bicara Kebebasan Pers

Saat Johnny Plate Bicara Kebebasan Pers

“Press, press, press, press, press. Cardi don’t need more press” – Cardi B, penyanyi rap asal Amerika Serikat


PinterPolitik.com

Usai memperingati Hari Antikorupsi Sedunia, masyarakat kembali dihadapkan pada peringatan hari internasional lainnya, yakni Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia. Tentunya, animo perayaan hari ini juga tidak kalah besar.

Jika berbicara mengenai HAM dan demokrasi, tentu tidak luput juga dengan topik-topik kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Seminar Nasional yang membahas tema “HAM, Kemerdekaan Pers, Perlindungan dan Keselamatan Jurnalis di Indonesia” beberapa waktu lalu misalnya, ikutan mewarnai diskursus dari peringatan hari ini.

Ya, sebagian dari kita pasti tahu kalau pers itu penting dalam demokrasi. Sampai-sampai, banyak yang bilang pers itu adalah pilar keempat demokrasi. Bagaimana tidak? Pers hampir selalu menjadi sumber informasi terkini bagi masyarakat.

Di acara tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate bilang kalo kebebasan pers itu perlu didukung oleh pemerintah. Tapi, beliau punya nasihat nih untuk para insan pers Indonesia.

Pak Johnny bilang kalau beliau berharap pers dapat bekerja sama dan sevisi dengan pemerintah dalam memulihkan situasi pasca-konflik, khususnya di Papua. Beliau menganggap upata itu adalah tanggung jawab bersama.

Uniknya lagi nih, menurut Pak Johnny, pers perlu menyaring informasi yang disampaikan di era posttruth. Selain benar, informasi yang disampaikan juga harus kabar yang “baik”. Bahkan, kata beliau, informasi yang perlu didahulukan adalah informasi yang “baik”.

Hmm, bagaimana kalau nanti ada informasi yang benar tapi dianggap nggak “baik” oleh pemerintah? Masa iya pers nggak boleh memberitakan?

Eits, ngomong-ngomong soal saran bahwa pers hanya perlu memberitakan informasi yang baik, jadi ingat zaman-zaman Orde Baru. Kalau dikenang-kenang kembali, pers yang memberitakan informasi yang benar – tapi nggak “baik” – sering kali berakhir dibredel lho.

Majalah Tempo nih misalnya, pernah memberitakan informasi soal mark-up harga pembelian kapal perang bekas dari Jerman pada tahun 1994. Tapi, karena mungkin dianggap nggak “baik”, pemerintahan Soeharto langsung membredel majalah tersebut beberapa minggu berikutnya.

Informasi kayak gini kan penting buat masyarakat. Nah, apa informasi semacam ini juga dianggap nggak “baik” nantinya?

Selain itu, kalau kata Pak Rocky Gerung, pemerintah merupakan pencipta berita hoaks terbesar lho. Wah, nanti kalau pers hanya memberitakan informasi “baik”, jangan-jangan jatuhnya juga memberitakan informasi hoaks.

Kasihan juga pers nanti karena bakal menghadapi dilema nih – antara hanya memberitakan informasi yang “baik” atau memberitakan informasi yang bisa saja hoaks.

Tapi, tenang dulu. Kata Pak Johnny, pers dalam kesehariannya masih berperan memilah-milah informasi yang perlu dibagikan pada masyarakat. Tapi, kata beliau, pemerintah lah yang bertanggung jawab untuk memastikan jalannya pers yang baik.

Ya, awak media – dan mungkin juga publik – pasti masih berharap pers bisa bebas memberitakan informasi apapun. Kalau nggak gitu, para wartawan entar kehabisan topik, termasuk topik pembicaraan publik agar tetap dapat berkontribusi pada jalannya pemerintahan. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?