“Mungkin kritikan buat saya. Salat harus kenceng, kalau Idul Adha harus sembelih sapi. Mungkin penulisnya memberi kritik untuk yang namanya Ganjar, tapi kan Ganjar-nya banyak”. – Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah
Ribut-ribut ngomongin banjir, revisi UU Pemilu, dan kasus Covid-19 yang makin tidak terkendali, rupanya tidak menutup ruang-ruang publik terhadap isu yang lain.
Salah satunya adalah yang kini menimpa Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Seperti diberitakan oleh banyak media, nama Ganjar ramai dipergunjingkan setelah beredar potongan soal di buku pendamping pelajaran yang menampilkan nama sang gubernur.
Namun, namanya bukan ditampilkan secara positif, melainkan cenderung negatif karena dipadankan dengan tindakan yang negatif dalam beragama seperti tidak bersyukur, tidak berkurban, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Inikah “Jebakan Batman” ala Jokowi?
Sebetulnya isi narasi dalam buku tersebut biasa saja. Apalagi, nama Ganjar juga merupakan nama yang bisa digunakan oleh orang lain, walaupun tidak seumum nama-nama seperti Bayu atau Budi atau Joko dan yang lainnya.
Tapi, namanya media sosial, sudah kadung membuat narasi dalam buku pelajaran tersebut menjadi cenderung politis. Ada yang menyebut tak terima nama Pak Ganjar dicitrakan negatif, ada yang bilang ini bertujuan mendiskreditkan doi, dan lain sebagainya.
Bahkan, nggak tanggung-tanggung, ada yang menjadikan hal tersebut untuk “menyerang” Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang disebut kurang memberikan pengawasan terhadap buku-buku pelajaran yang dipakai di sekolah.
Wih, kan jadi ke mana-mana. Ada yang sampai mengistilahkan peristiwa ini sebagai “tragedi dunia pendidikan Indonesia”. Beh, sakti kali bahasanya ya.
Tapi, kalau ini beneran silent campaign atau kampanye diam yang memang ditujukan untuk menyerang pribadi Pak Ganjar sebagai salah satu sosok pemimpin daerah dengan popularitas dan elektabilitas tertinggi saat ini, maka Pak Ganjar perlu waspada juga.
Soalnya, silent campaign kayak gini bergerak secara perlahan. Tau-taunya ada aja kejadian besar yang kemudian mengikutinya di kemudian hari. Kayak gerakan feminisme di film Enola Holmes tuh yang membuat ibunya si Enola tau-tau pergi dari rumah dan ikut merencanakan aksi pengeboman, walaupun kemudian gagal dieksekusi.
Intinya, sudah selayaknya dunia pendidikan memang tidak disusupi oleh hal-hal yang berbau politis. Dan kalaupun Ganjar yang dimaksud dalam buku tersebut adalah tokoh fiksional, mungkin tak perlu juga ditanggapi secara berlebihan oleh masyarakat.
Kan kasihan Pak Nadiem sebagai Mendikbud. Tau-tau ada aja masalah yang dituduhkan pada dirinya. Uppps. Semoga Pak Nadiem nggak stress jadi menteri. Hehehe. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.