“Burung dara tidak akan terbang ke mulut seseorang dalam keadaan sudah terpanggang. Harus ada kerja!” – Eduard Douwes Dekker, penulis asal Belanda
Gengs, pernah lihat prosesi nikah siri nggak? Atau minimal tahu terkait pelaksanaannya? Kalau belum paham mimin kasih penjelasan sedikit. Jadi nikah siri itu mudahnya merupakan pernikahan yang dilangsungkan secara diam-diam.
Nggak perlu ribet memang. Karena yang hadir cuma keluarga inti saja. Itupun terkadang hanya bagi pihak perempuan. Sedangkan pihak laki-laki cukup dihadiri mempelai saja. Makanya oleh beberapa orang, terutama ibu dari sang anak, rata-rata menolak pernikahan siri. Kecuali memang ada faktor tertentu, seperti keadaan yang mendesak oleh kedua belah pihak.
Hampir sama dengan prosesi nikah siri, mimin melihat pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) menjadi undang-undang juga mirip-miriplah secara prosesinya.
Pasalnya waktu yang dilalui sangat cepat dan senyap. Bahkan hal itu sudah kelihatan sejak awal keputusan tingkat pertama, di mana pemerintah dan DPR sepakat agar konten RUU dibawa menuju Sidang Paripurna.
Dan tahukah kalian, dalam Sidang Paripurna prosesi pembahasannya sangat cepat. Jadi seakan-akan kayak menunggu masyarakat lengah dan nggak fokus memperhatikan sidang ini gitu lho.
Padahal publik pun tahu bahwa RUU Cipta Kerja ini sangat krusial. Mungkin kalian pada ingat kan sewaktu kelompok massa melakukan demonstrasi berjilid-jilid di setiap kota guna memprotes peraturan yang memilki nama lain omnibus law ini.
Sudah waktu yang nggak pas, rapatnya juga terkesan kayak absensi di kelas. Coba simak nih proses pengambilan keputusannya. “Kepada seluruh anggota, saya memohon persetujuan dalam forum rapat peripurna ini, bisa disepakati?” tanya Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Sontak mayoritas menjawab: “Setuju.”
Sesudah itu bunyi ketok palu menandai pilihan dari pihak legislatif. Gitu doang.
Lha kan menggelikan, cuy, sekelas peraturan yang menjadi perdebatan publik cuma dibahas dengan mudah tanpa mengakomodir suara dari kalangan masyarakat.
Tapi justru di sinilah letak perbedaannya dengan nikah siri. Kalau nikah siri tuh kan harus ada kerelaan antar pihak yang melakukan prosesi pernikahan. Sedang rapat DPR ini nggak sebab seolah hanya clear di satu pihak saja.
Padahal secara implementasinya, jelas kebijakan ini dirasakan juga oleh masyarakat. Tetapi kok bisa ya objek yang bakal terkena kebijakan malah nggak diajak rembukan? Hadeh, suka-suka bim salabim-nya DPR saja deh.
Mimin cuma hendak mengingatkan, sebagaimana film 12 Angry Men, bahwa kebijakan sekecil apa pun harus disepakati oleh pihak yang terlibat. Kalau tidak, maka konsekuensinya ditanggung penumpang. Siapa ya yang numpang? Upps. (F46)