“Para politisi bernegosiasi, orang suruhan lincah mengikuti, edarkan pelicin di ruang lobi” – Najwa Shihab, jurnalis asal Indonesia
Ibarat film-film kolosal bertema kerajaan, Indonesia ini banyak sekali klan-klannya. Orang politik negeri ini menyebutnya sebagai faksi-faksi.
Namun, mau disebut bagaimanapun, rule of game-nya sama kok, gengs. Sederhananya, tentu ada pihak pemerintah yang didukung oleh kelompok pro-pemerintah.
Kemudian, di sisi yang berlawanan, berdiri kubu oposisi yang juga punya banyak pengikut. Dan, jangan dilupakan, di tengah-tengah antar keduanya tuh ada kelompok tengah yang entah ke mana condongnya, mungkin main aman.
Barang kali, film yang pas sama situasi dan kondisi di Indonesia Game of Thrones (GoT) deh. Kenapa bukan yang lain? Ya, karena di film GoT itu, kalian tidak akan pernah bisa menilai ‘mana yang salah’ dan ‘mana yang benar’ sebab semua orang dalam suatu peristiwa bisa berbeda perannya di peristiwa lainnya. Sangat subjektif.
Kalau film lain seperti Narnia nggak cocok ditaruh di Indonesia, nanti mimin bingung siapa yang jadi Aslan si maha benar, dan siapa si Penyihir Putih yang maha salah. Indonesia tidak sehitam dan putih itu, Bro.
Namun, tetap saja, sebagaimana film GoT yang bisa dinilai secara subjektif, pun politisi-politisi di Indonesia boleh kok secara subjektif memuja-muji kelompoknya, bahkan tidak keliru kalau sampai menghajar sepak terjang lawan politiknya.
Seperti yang baru-baru ini ditunjukkan oleh kubu seberangnya pemerintah lewat perkataan pentolannya, yakni Rocky Gerung, yang menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi telah melakukan political prostitution atau pelacuran politik.
Kalimat yang terlontar pada acara pengenalan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang terdiri dari banyak tokoh hebat mulai dari Din Syamsudin sampai Sri Bintang Pamungkas itu secara tersirat mau bilang bahwa KAMI itu ada buat ngelawan anomali pemerintah.
Widih, ngeri sekali Bung Rocky dan KAMI ini ya, cuy. Namun, ngomong-ngomong kalau disimak alasan Bung Rocky menyebut pemerintah se-sarkastis itu mimin rada maklum sih.
Pasalnya, emang agak keterlaluan lho. Masa pertemuan yang isinya cuma membahas pemilihan Wali Kota di Solo saja sampai harus dilaksanakan di Istana Negara?
Parahnya, sebagaimana desas-desus pembicaraan antara Pak Jokowi dengan tamunya yang bernama Achmad Purnomo, bahasan keduanya ternyata menjurus pada tawar-menawar jabatan. Pak Purnomo sebagai kandidat Wali Kota Solo bakal dikasih jabatan lain di tengah upaya Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri di Pilkada Solo 2020.
Itulah yang dimaksud pelacuran politik ala Bung Rocky, yang menggarisbawahi perilaku transaksional Pak Jokowi dengan Purnomo. Kalau Bung Rocky bilang, “ya pelacuran politik juga yang lebih berat hukumannya daripada pelacuran individual, Hana Hanifah.” Sadis abis, Bung.
Jujur saja, cuy, soal lobbying dan negosiasi ini, mimin agak melihatnya wajar tetapi nggak membenarkan lho ya. Pasalnya, lobby adalah salah satu aktivitas politisi yang menjadi rahasia publik.
Terlepas dari ketegangan itu, mimin minta kalian bayangin deh, cuy. Di acara pengenalan saja sudah nyentil keras kayak begitu, apalagi kalau sudah jalan organisasi KAMI. Bakal seru sekali.
Kalian sudah bisa menebak bagaimana panasnya pertandingan ke depan kan? Ya, mimin juga, tapi diam-diam aja, kita tetap blok tengah, bisa sentil sini dan sana. Andai ada yang kurang pas atau tidak sesuai pada tempatnya, ya kita sentil. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.