“Jadi saya awalnya itu nanya ngapain ketemu saya, di kalangan Istana saya dibenci. Dia merasa dia anak muda yang ingin tidak terlalu terpengaruh dengan keadaan Istana. Saya kira anak ini bukan Wali Kota ini, saya anggap anak muda sekali. Dia berupaya distingsi dengan keluarga Istana.” – Rocky Gerung, Pengamat Politik
Pertemuan Rocky Gerung dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming menjadi perhatian banyak pihak. Tentu karena pertemuan mereka dianggap sebagai peristiwa yang sulit terjadi. Mengingat Rocky dikenal sebagai pengkritik ayah Gibran, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kesempatan itu, Rocky mengaku Gibran yang ingin bertemu dengannya. Rocky sempat heran dengan niatan itu, sehingga pada akhir pertemuan ia menegaskan bahwa dirinya akan tetap jadi pengkritik pemerintahan.
Sebuah pernyataan yang cukup aneh dan menyisakan pertanyaan. Kenapa Rocky harus menegaskan hal tersebut? Apakah mungkin dia takut “dicap” akan berbelok sebagai pendukung pemerintah, sehingga harus membuat counter narasi?
Sedikit memberikan konteks, sosok Rocky sudah cukup lama dikenal publik sebagai tokoh yang mengkampanyekan politik akal sehat, dan dikenal juga sebagai tokoh yang selalu menjadi pengkritik kebijakan pemerintah.
Meski sudah berkiprah sejak era Orde Baru, penampilan Rocky yang paling menyita perhatian adalah pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Penampilannya pun seringkali dianggap fenomena yang menarik, karena mampu memberikan penyegaran di tengah kejumudan berpikir para politisi.
Pengamat politik Fachry Ali, menyebut Rocky Gerung muncul dalam situasi masyarakat Indonesia yang “terbelah” secara politik. Momentum inilah yang menyeretnya menjadi bagian dari konflik keterbelahan itu.
Memainkan peran sebagai kritikus membuat Rocky secara alamiah terseret masuk pada kelompok yang secara psikologi merasa bagian dari underdog dari pertarungan politik yang sedang berlangsung.
Konteks sosial semacam inilah yang memberikan kesempatan kepada Rocky untuk tampil ke depan, menjadi semacam the leading group dari sebuah suatu kelompok yang mengasosiasikan dirinya sebagai oposisi.
Anyway, pertemuan Rocky dengan Gibran, dan sebelumnya dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, bisa menjadi pertanda yang nyata kalau Rocky sekiranya dibujuk untuk bersandar ke Istana.
Apalagi, berbagai informasi mengatakan, konon teman-teman aktivis seperjuangannya yang dulu pernah aktif bersama di Yayasan Padi dan Kapas, merupakan kelompok yang menjadi penyokong kekuatan politik Istana.
Perlu diingat kalau kelompok primer, yaitu kelompok sosial yang anggotanya saling mengenal secara pribadi dan akrab mampu menjadi faktor pendukung seseorang merubah sikapnya terhadap sesuatu.
Lawrence Kohlberg dalam bukunya Moral Stages: A Current Formulation and a Response to Critics, menjabarkan bagaimana kelompok akrab mampu mempengaruhi keputusan pribadi seseorang.
By the way, jika benar Rocky akan “belok” ke Istana, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan sih. Mungkin lebih terlihat seperti perumpamaan anak hilang yang akhirnya kembali ke rumah.
Hmm, tunggu dulu deh, kok jadi kepikiran ya kalau ada kaitan antara jaringan Rocky di Istana dengan sulitnya dia untuk “dijerat” selama ini ya. Apakah mungkin karena ada backing kuat ya? Uppss. Hehehe. (I76)