Setelah viral sebuah studi yang menyebutkan bahwa tim makan bubur tidak diaduk lebih memiliki kecerdasan emosional, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil langsung memberikan tanggapannya. Bagaimana tim bubur diaduk vs tim bubur tidak diaduk ini juga mengisi diskursus politik?
“Sometimes I long to forget… It is painful to be conscious of two worlds” – Eva Hoffman, Lost in Translation: A Life in a New Language (1989)
Dalam sebuah konflik, biasanya akan selalu ada dua pihak besar yang saling bertarung. Dalam Perang Dunia II pada paruh abad ke-20 dulu, misalnya, terjadi antara dua kubu besar, yakni Blok Sekutu dan Blok Poros.
Hal yang sama ternyata juga terjadi dalam serial anime Naruto, yakni Naruto: Shippuden. Gimana nggak? Dalam Perang Dunia Ninja ke-4, dua kubu juga ikut berperang, yakni antara Blok Ninja Sekutu dan Akatsuki.
Tidak hanya di Naruto dan Perang Dunia II, pertempuran besar antara dua kubu juga terjadi di franchise Marvel bernama Avengers. Seperti yang banyak diketahui, dua film Avengers yang terakhir – yakni Avengers: Infinity War (2018) dan Avengers: Endgame (2019) – juga menceritakan pertempuran antara pahlawan-pahlawan super (superheroes) melawan Thanos.
Dikotomi dua kubu ini memang kerap terjadi. Dan, dalam persaingan, konflik, dan perseteruan seperti ini, selalu ada hal yang diperebutkan. Beuh, memang, dunia ini isinya selalu soal politik – apa pun aspek kehidupan yang dijalankan.
Bila diamati kembali, Perang Dunia II merupakan perang untuk memperebutkan wilayah dan sumber daya alam. Sementara, Perang Dunia Ninja ke-4 bertujuan untuk memperebutkan para bijuu. Dan, terakhir, Infinity War bertujuan untuk memperebutkan infinity stones.
Perang dua kubu semacam ini ternyata juga terjadi di Indonesia lho. Perang lama yang tidak kunjung usai ini terjadi antara tim bubur diaduk vs tim bubur tidak diaduk. Terakhir, beredar sebuah studi yang menyebutkan bahwa mereka yang makan bubur dengan tidak diaduk dianggap memiliki kecerdasan emosional lebih.
Menanggapi studi tersebut, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil langsung angkat bicara lho – via sebuah unggahan di akun Instagram-nya. Katanya sih, studi itu belum mempertimbangkan variabel-variabel lainnya, seperti bagaimana kecap yang dituangkan ke dalam bubur dilakukan – entah zigzag atau lurus.
Mungkin, Kang Emil merasa tidak terima karena dirinya merupakan bagian dari tim bubur diaduk. Selain Kang Emil, banyak politisi lain juga bagian dari tim bubur diaduk – seperti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Menariknya lagi, berdasarkan informasi dari Kaesang Pangarep – putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), penghuni Istana seluruhnya merupakan bagian dari tim bubur diaduk. Hmm, apakah ini sebuah syarat agar seseorang bisa jadi penghuni Istana? Hehe.
Wajar sih, dalam dinamika politik eksekutif di Indonesia, presiden memang harus pandai-pandai “mengaduk” koalisi pemerintahannya. Kalau kata Dan Slater dalam tulisannya berjudul Party Cartelization, Indonesian Style, inilah yang disebut sebagai power-sharing untuk mengonsolidasi kekuatan terhadap oposisi.
Jadi, gimana nih, Kang Emil dan Pak Anies? Ternyata, Pak Jokowi juga tim bubur diaduk – mungkin apa pun itu yang bisa “diaduk” jadi satu kesatuan. Bukan begitu? Hehe (A43).