Seorang food vlogger ternama, Magdalena Fridawati, menjadi buah bibir warganet setelah viral videonya yang berkomentar soal nilai tak terbilang atas jumlah followers-nya. Lantas, bagaimana dengan “nilai” jumlah followers di dunia politik – katakanlah Ridwan Kamil (RK) yang aktif di media sosial (medsos)?
“Aku udah nunjukkin followers aku berapaa, bisa bantu sejauh apa. Gitu kan?” – Magdalena Fridawati, Food Vlogger
Udah pernah nyobain ayam goreng dari Los Pollos Hermanos? Katanya sih, ini adalah restoran cepat saji yang memiliki hidangan ayam goreng terenak lho. Sampai-sampai, semua orang – mulai dari Walter White, Jesse Pinkman, Saul Goodman, hingga Hank Schrader – pasti pernah mencoba ayam Los Pollos Hermanos.
Nah, bukan nggak mungkin, Los Pollos Hermanos ini memiliki potensi untuk mengembangkan pasarnya tuh. Meski cuma ada di Alberqueque, New Mexico, Amerika Serikat (AS), dalam franchise serial Breaking Bad, masyarakat Indonesia paling demen lho dengan ayam-ayam goreng beginian.
Siapa tahu, kan, Los Pollos Hermanos bisa aja jadi pesaing menjanjikan bagi bisnis-bisnis ayam goreng yang tengah ramai layaknya Sabana, D’Besto, Hisana, dan sebagainya? Barang kali, Gustavo Fring sebagai pemilik Los Pollos Hermanos tertarik tuh. Hehe.
Ini bisa jadi kesempatan emas buat para food vlogger kayak Magdalena Fridawati buat mempromosikan Los Pollos Hermanos kepada para followers-nya di Indonesia. Apalagi, seperti dalam video yang ramai akhir-akhir ini, Magdalena menyayangkan banyaknya restoran dan rumah makan yang tidak menyadari seberapa besar potensi akun media sosialnya (medsos).
Padahal ya, Magdalena udah nunjukkin berapa jumlah followers-nya. Terus, juga udah menjelaskan seberapa jauh dampaknya. Eh, restorannya tetap aja nggak ngasih gratis makanannya.
Hmm, coba deh Mbak Magdalena ke Gus Fring (bukan orang Nahdlatul Ulama atau NU ya). Siapa tahu bisa promosi sekalian Los Pollos Hermanos? Tapi, hati-hati ya kalau tiba-tiba datang ke restorannya. Takutnya, Pak Gus lagi sibuk dengan bisnis-bisnis dia yang lainnya. Hehe.
Terlepas dari Mbak Magdalena dan Los Pollos Hermanos ini, topik soal bagaimana followers punya dampak luas dalam marketing (pemasaran) memang menjadi perdebatan – apalagi bila marketing yang dibicarakan adalah marketing dalam bidang politik seperti kampanye.
Soalnya nih, mirip-mirip Magdalena yang pamer jumlah followers-nya, ada juga lho politisi yang melakukan hal serupa. Salah satunya adalah Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil (RK) alias Kang Emil.
Saat bergabung ke Partai Golkar, misalnya, Kang Emil diminta untuk membantu strategi peningkatan suara bagi partai berlambang pohon beringin itu. “Followers saya 30 juta. Itu saja udah jadi modal,” ujar Kang Emil ketika bicara soal strategi itu di Kantor DPP Golkar pada 18 Januari 2023 lalu.
Ya, emang sih, eksposur di medsos memang menjadi salah satu cara untuk meningkatkan brand awareness di masyarakat. Namun, dalam marketing, ada satu hal lain yang perlu dipertimbangkan selain brand, yakni para konsumennya.
Mengacu pada penjelasan Aron O’Cass dalam tulisannya berjudul Political Marketing and the Marketing Concept, dalam dunia marketing, kebutuhan konsumen adalah fokus utama. Konsumen dan produk yang ditawarkan adalah dua hal yang perlu dijawab terlebih dahulu sebelum penguatan brand.
Misal nih, dalam politik, pertanyaan yang kemudian perlu dijawab adalah apa sih yang dibutuhkan oleh para pemilih. Baru setelah itu, strategi marketing politik bisa menjawab pertanyaan mengapa brand – kandidat atau partai politik (parpol) – itu bisa menawarkan produk yang memenuhi kebutuhan konsumen.
Tentunya, ada cara-cara tertentu yang digunakan untuk meraih para konsumen. Ini perlu memerhatikan perilaku konsumen juga – yakni dengan melihat perilaku konsumen dalam memperoleh informasi.
Nah, apakah medsos dan jumlah followers yang besar menjadi cara tepat untuk meraih para pemilih? Bisa sih bila hanya menarget para pengguna medsos yang kebanyakan tinggal di wilayah urban. Lantas, bagaimana dengan para pemilih yang tinggal di wilayah pedesaan?
Dalam tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Operasi Intelijen di Balik Baliho Puan, dijelaskan bahwa terdapat disparitas askes digital yang besar antara wilayah urban dan rural. Inilah mengapa upaya marketing yang hanya mengandalkan saluran informasi digital seperti medsos bukanlah hal yang bijak.
Pada akhirnya, penilaian yang solely hanya didasarkan pada jumlah followers ala Magdalena yang viral belum tentu bisa berlaku tuh untuk marketing di dunia politik. Waduh, percuma dong kalau hanya mengandalkan followers untuk menjaring para pemilih secara lebih luas? 👀 (A43)