Site icon PinterPolitik.com

Retno Marsudi untuk Pilpres 2024?

Retno Marsudi untuk Pilpres 2024?

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. (Foto: CNN Indonesia)

“Ada menteri ngemper di mal. Subhanallah low profile banget. Menteri juga manusia” – Nanik Istumawati, Istri Menteri ATR/BPN


PinterPolitik.com

Sebagian besar pejabat di Indonesia identik dengan kekayaan yang berlimpah dan dengan gaya hidup mewah. Tidak hanya pada diri pejabat itu, istri dan anak pejabat juga kerap tampil glamor layaknya sosialita.

Namun, ternyata tak semuanya seperti itu. Ada beberapa pejabat yang tidak malu tampil sederhana di hadapan publik. Contohnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi yang tertangkap kamera duduk ngemper di salah satu mal di Jakarta.

Sebagian besar mengapresiasi apa  yang dilakukan Retno dengan nada positif. Bahkan istri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nanik Istumawati.

Nanik memuji dengan mengatakan tindakan ngemper Retno menunjukkan kesan low profile seorang menteri. Ini dianggap sekaligus menunjukkan kalau menteri juga manusia kebanyakan yang juga bisa duduk di sudut mana saja di mal.

Anyway, fenomena ini menjadi sorotan karena berbeda dari anggapan umum kalau pejabat selalu mendapatkan privilege tersendiri. Fasilitas yang diperoleh mereka haruslah khusus dan lebih tinggi dibandingkan yang lain.

Retno Rela Ngemper di Mal?

Jika dipikir-pikir, rupanya ada juga loh pejabat atau menteri yang keluar pakem anggapan umum semacam itu – contohnya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono. Pria yang disapa Pak Bas ini juga selalu berkelakuan di luar pakem protokoler pada umumnya.

Anggapan umum kalau pejabat haruslah diberikan hak istimewa berawal dari cara pandang tentang kelas sosial. Dalam konteks ilmu sosial, fenomena semacam ini dikaji dalam pendekatan yang disebut stratifikasi sosial.

Konsep stratifikasi ini mengandaikan adanya lapisan masyarakat yang terbentuk berdasarkan struktur dan hierarki. Mulai dari masyarakat primitif hingga masyarakat modern, semuanya membentuk stratifikasi sosial tersendiri.

Fakta sosial ini dijelaskan oleh sosiolog Pitirim Sorokin yang menggambarkan bahwa kesetaraan dalam masyarakat sebenarnya adalah mitos yang tidak dapat direalisasikan sepanjang sejarah umat manusia.

Masyarakat primitif dalam kebudayaannya mempunyai stratifikasi yang kuat dan mengikat – disebut dengan kasta. Sementara, pada masyarakat modern, stratifikasi ini diperkenalkan dengan istilah kelas sosial.

Stratifikasi sosial ditata secara vertikal (atas-bawah) yang hierarkis – terdiri dari distribusi beragam hak dan keistimewaan, tugas dan tanggung jawab, nilai sosial, kekuatan sosial, dan pengaruh di antara anggota masyarakat.

Hampir semua masyarakat terstratifikasi. Stratifikasi melibatkan pembagian hak istimewa yang tidak setara di antara anggota masyarakat.

Stratifikasi sosial secara alami membentuk masyarakat ke dalam kelompok atau kategori yang saling terkait satu sama lain – biasanya melalui hubungan superioritas dan subordinasi.

Khusus untuk Pak Bas dan Bu Retno, terlihat adanya kesadaran etika yang lebih kritis melihat konsep strata sosial tersebut. Mereka tidak terjebak pada “arus” cara berpikir kebanyakan orang.

Layaknya seorang pemimpin yang menjadi contoh atau suri tauladan bagi masyarakat, pejabat haruslah lebih berhati-hati dalam menampilkan sikap. Idealnya, pejabat publik mempunyai semacam etika kewajiban untuk mempromosikan keteraturan dibandingkan menyulut  kekacauan. 

Konsep etika kewajiban diperkenalkan oleh Immanuel Kant dengan mempromosikan konsep imperatif kategoris dan imperatif hipotetis.

Immanuel Kant dalam bukunya Foundations of the Metaphysic of Morals menjelaskan tentang konsep perbedaan yang mendasar antara imperatif hipotesis dan kategoris.

Imperatif kategoris menentukan kehendak baik seseorang murni dalam dirinya sendiri. Sementara, imperatif hipotesis menentukan kehendak baik seseorang, tetapi dengan tujuan atau motivasi tertentu.

Dari cara berpikir Kant ini, kita bisa menarik kesimpulan kalau pejabat haruslah memiliki imperatif kategoris, yakni konsep etika yang keluar dari panggilan suara hati. Ini terlihat alami dan bisa menjadi rujukan banyak orang.

By the way, apa yang dilakukan oleh Bu Retno menjadi pelajaran berharga bagi setiap orang tua. Sering kali, kita jumpai hal yang sama terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun menjabat sebagai menteri, Bu Retno juga punya kewajiban sebagai seorang nenek untuk menyuapi cucunya. Hal tersebut alamiah karena kita pada dasarnya adalah individu yang mempunyai identitas berlapis.

Seharusnya bukan hanya Pak Bas dan Bu Retno aja sih yang dapat menunjukkan sikap keluar pakem semacam ini. Namun, seluruh pejabat di negeri ini harusnya menunjukkan sikap yang serupa.

Hmm, bisa-bisa Bu Retno jadi bintang baru nih di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi). Atau bahkan bisa jadi calon presiden (capres) alternatif perempuan untuk 2024 mendatang? Uppsss. Hehehe. (I76)


Ini Yang Terjadi Jika Megawati Tidak Jadi Presiden
Exit mobile version