Tiada hentinya narasi tiga periode maupun perpanjang masa jabatan presiden. Pro Jokowi (Projo) hadir kembali dengan nyanyian yang sama, tapi dengan sedikit nada yang berbeda. Lantas, mungkinkanh ini ramuan baru Projo sukseskan tiga periode?
Rupanya narasi perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu masih belum usai hingga kini. Suara beberapa pejabat seperti Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, Ketua Umum (Ketum) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan terakhir Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan yang sempat menyeruak rupanya masih dikemas kembali.
Baru-baru ini, Panel Barus, Bendahara Umum Pro Jokowi (Projo), mengusulkan agar penambahan masa jabatan presiden ditambah 2,5 tahun. Hal ini diyakini lebih memungkinkan dibandingkan dengan narasi sebelumnya, yaitu tiga periode.
Barus mengumpamakan tiga periode seperti api yang akan mati dan tak bisa untuk mematangkan sebuah telur. Sedangkan untuk penambahan 2,5 tahun lebih mungkin dan relatif bisa diwujudkan saat ini.
Berseberangan dengan narasi tersebut, Masinton Pasaribu, politisi PDI Perjuangan (PDIP), menganggap ide perpanjang seperti itu adalah sebuah ide jahat yang ingin direalisasi di negeri ini. Masinton juga melihat ketidakseriusan Presiden Jokowi dalam upaya menghentikan isu tiga periode yang berkembang lebih lanjut.
Sejauh ini, narasi tiga periode dan perpanjang dengan koefisien tambah satu periode maupun 2,5 periode, memperlihatkan bahwa masih ada pihak-pihak yang ingin memperpanjang kekuasaan Presiden Jokowi dan tampaknya akan selalu mencari cara agar wacana itu bisa terwujud.
Jika ada peribahasa ”lagu lama”, yang bermakna pendapat yang telah usang, maka ini melampaui peribahasa itu. Mungkin ini lagu lama yang sengaja diulang dengan misi tertentu.
Sering sekali kita mendengar lagu semisal Asal Kau Bahagia dari Armada atau mungkin Surat Cinta Untuk Starla yang selalu menemani perjalanan kita saat radio dinyalakan ataupun saat mendengar daftar playlist lagu di beberapa platform pemutar musik.
Semakin kita sering mendengar lagu tersebut, semakin kita ingat dengan lirik bahkan nada lagunya. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi yang disebut dengan redudansi. Pengulangan semacam ini yang membuat lagu menempel pada ingatan kita, yang mungkin seharusnya tidak pernah ada tapi kemudian menjadi eksis.
Dalam linguistik, redundansi mengacu pada informasi yang diungkapkan lebih dari sekali. Bukan hanya dalam lagu, dalam politik juga redudansi ini dapat berlaku. Isu yang disebutkan berulang akan membekas pada ingatan kita.
Secara psikis, isu tiga periode atau perpanjangan masa jabatan yang diredudansi ini akan mampu memunculkan memori, sehingga membekas di benak kita.
Hal ini juga mirip dengan gerakan move on dari sang mantan, tapi apa daya, suara merdunya masih terngiang jelas di otak dan telinga, hingga akhirnya malah bikin susah move on.
Jangan-jangan, narasi penambahan jabatan maupun perpanjangan ini ingin didesain layaknya redundansi agar kita pada akhirnya mewajarkan, bahkan ingin mencoba narasi ini. Siapa yang tahu? (I76)