Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mencuitkan bahwa pemerintah akan menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk Pulau Pasir. Apakah tim media sosial (medsos) Sandiaga kurang briefing?
“You weren’t mine to lose” – Taylor Swift, “august” (2020)
Siapa nih yang siap untuk bergalau ria? Mungkin, bagi kalian yang ingin meluapkan emosi kesedihannya, bisa tuh dengerin lagu-lagu Taylor Swift – mulai dari album-album lamanya seperti Speak Now (2010) sampai yang terbaru seperti Midnights (2022).
Nah, dari sekian album itu, ada satu lagu yang cukup sedih sih. Di album Folklore (2020), Taylor Swift menyanyikan satu lagu yang bisa nge-buat kita sadar akan momen-momen indah masa lalu tetapi juga menyadarkan kita bahwa momen itu bukanlah momen yang seharusnya kita miliki sebagai memori selamanya.
Lagu itu adalah track ke-8 dalam Folkore yang berjudul “august”. Seperti kutipan di awal tulisan, Taylor menjelaskan kisah seseorang bernama Augusta atau Augustine yang harus merelakan memori akan momen-momen indah yang ia miliki bersama seseorang bernama James.
Persoalannya menjadi pelik karena James ternyata memiliki seorang pacar bernama Betty. Akhirnya, memori Augusta/Augustine dengan James hanya berakhir sebagai sebuah summer fling/love yang tidak bisa dimiliki selamanya.
Hmm, mungkin cinta segitiga seperti yang dimiliki Betty, James, dan Augusta/Augustine ini juga terjadi di dunia nyata, bahkan dalam dunia politik dan pemerintahan Indonesia. Kali ini, hubungan segitiga ini terjadi antara Indonesia, Pulau Pasir, dan Australia.
Gimana nggak? Kelompok masyarakat adat Laut Timor beberapa waktu lalu mengancam akan menggugat pemerintah Australia atas kepemilikan Pulau Pasir yang terletak sejauh 144 kilometer (km) ke selatan dari Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan sejauh 320 km dari pesisir barat laut Australia.
Pulau Pasir selama ini selalu digunakan oleh kelompok adat Laut Timur yang melaut untuk bersinggah sejenak. Namun, kabarnya, Australia mulai meningkatkan aktivitas di pulau tersebut. Alhasil, mereka pun mengancam untuk menggugat pemerintah Australia di pengadilan di negara tersebut.
Menanggapi hal ini, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno ikut berkomentar melalui akun Twitter-nya dan mengatakan bahwa pemerintah akan menjaga kedaulatan wilayah Indonesia. “NKRI harga mati!” cuit akun @sandiuno.
Sayangnya, cuitan yang penuh semangat itu langsung dipertanyakan oleh banyak netizen di Twitter. Soalnya nih, ternyata, Direktur Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Abdul Kadir Jailani sudah berkicau duluan di akunnya. “Pulau Pasir tidak pernah masuk dalam wilayah NKRI,” jelas akun @akjailani.
Waduh, gimana nih? Kok jadi beda-beda ini responsnya pemerintah Indonesia? Apa nggak briefing dulu nih antar-kementerian/lembaga pemerintahan? Masa malah jadi adu starter pack kementerian antara Kemlu vs Kemenparekraf gini?
Namun, Pak Dirjen Kemlu jelas punya alasan bilang demikian. Dalam hukum internasional, berlaku sebuah asas yang disebut sebagai uti possidetis juris – yang artinya “sesuai apa yang dimiliki di bawah hukum” dari Bahasa Latin.
Asas hukum internasional ini digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah banyak negara, khususnya negara-negara yang baru lahir setelah era kolonial berakhir pasca-Perang Dunia II. Nah, salah satunya adalah Indonesia yang merdeka pada 17 Agustus 1945 di detik-detik berakhirnya Perang Dunia II.
Sederhananya, berdasarkan asas itu, Indonesia melanjutkan kedaulatan wilayah berdasarkan pemerintahan sebelumnya – dalam kasus ini adalah Hindia Belanda. Asas ini pula yang digunakan pemerintah Indonesia untuk merebut Irian Barat (sekarang Papua).
Tapi nih, untungnya, cuitannya Pak Sandi kemudian dihapus lho. Ya, gimana pun, apa yang tercuitkan akan menjadi jejak digital.
Hmm, gimana sih tim media sosialnya (medsos) Pak Sandi? Coba kalau tim medsosnya pinter seperti PinterPolitik.com. Siapa bisa lebih comprehensive knowledge-nya, termasuk dalam Hubungan Internasional (HI)? Hehe.
Gimana ya? Kan, kita tahu kalau dalam sebuah hubungan segitiga, kita juga perlu hati-hati mencuitkan sesuatu. Kalau nggak, bisa-bisa malah berantem tuh – atau malah tweet war. Bukan begitu? (A43)