“Itu (naskah RUU dibagikan saat paripurna) kelaziman, bukan kewajiban. Sekarang kalau faktanya untuk nyetak tidak ada yang sanggup, kan tidak harus ikut kelaziman”. – Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi
Ketua DPR Puan Maharani emang lagi jadi bulan-bulanan masyarakat. Doi dianggap sebagai sosok antagonis kayak di drama-drama series, apalagi setelah muncul tuduhan bahwa doi mematikan microphone saat anggota fraksi Partai Demokrat sedang menyampaikan pandangannya di Sidang Paripurna pengesahan UU Cipta Kerja.
Sayangnya, belakangan UU yang sudah disahkan itu dipermasalahkan lagi karena perubahan jumlah halaman. Ada yang berjumlah 1.208 halaman, lalu jadi 903 halaman, lalu jadi 1.035 halaman, dan terakhir berubah lagi jadi 812 halaman. Beh, jadi makin dibully netizen itu.
Alasan yang dikemukakan DPR adalah bahwasannya awalnya ukuran kertas yang digunakan adalah A4. Kemudian ketika diubah menjadi ukuran legal yang nota bene lebih panjang kertasnya, maka jumlah halaman otomatis akan berkurang. Selain itu juga ada banyak typo yang harus diperbaiki dan spasi yang dikurangi.
Hmmm, sekalian font-nya dikecilin juga, sama spasinya diturunin jadi 1 spasi aja. Biar yang baca makin sulit menemukan celah buat kritik kalau dokumennya sulit dibaca. Uppps.
Yang jelas, ini DPR kayak berasa lagi bikin skripsi nggak sih? Sayangnya, kalau mahasiswa yang bikin skripsi justru jauh lebih unggul loh kalau dipikir-pikir. Soalnya, mereka sebelum maju untuk ujian, teknis penulisan terkait typo, spasi, ukuran huruf dan kertas itu udah dibenerin semuanya. Jadi pas ujian, yang dibahas oleh dosen penguji ya kontennya semata.
Sementara DPR, giliran mau “ujian” pengesahan Undang-Undang yang levelnya adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan seluruh masyarakat di negara ini, masih aja berurusan dengan soal typo dan lain sebagainya.
Yang bikin masyarakat was-was tentu saja adalah kalau saat perubahan pengetikan dan perbaikan-perbaikan typo itu justru ada hal substansial yang diganti. Beh, kalau itu yang terjadi, bisa bahaya. Soalnya, itu menunjukkan bahwa sistem pembuatan hukum kita sangat mudah “disusupi” di detik-detik akhir.
Ibaratnya mahasiswa yang udah lulus ujian skripsi, pas mau diprint ulang dan dijilid hard copy, eh tau-taunya abang-abang tukang fotokopiannya ubah-ubahin isi skripsinya. Kan ngajakin berantem namanya itu. Uppps.
Semoga DPR nggak beneran pengen ngajak masyarakat berantem deh. Matiin microphone ala Bu Puan aja udah bikin rakyat marah, apalagi kalau diperparah dengan yang lain-lain lagi. Uppps. (S13)