Site icon PinterPolitik.com

Puan “Farming” Honoris Causa?

Puan “Farming” Honoris Causa?

Puan Maharani. (Foto: Detik)

“Ibu harus kamu kalahkan. Puan harus mengalahkan saya dapat gelar,” – Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum (Ketum) PDIP


PinterPolitik.com

Para pemain Mobile Legends pastinya tidak asing dengan istilah “farming”. Istilah ini identik dengan salah satu siasat untuk mengumpulkan resource sepanjang permainan berlangsung – bisa dalam bentuk gold dan experience dengan tujuan meningkatkan level.

Kemampuan hero dalam game genre MOBA dan RPG ditentukan oleh resource-nya. Biasanya, farming dilakukan untuk mempersiapkan sebuah perang. Tanpa farming yang baik, “war kemungkinan besar akan gagal.

Nah, konsep farming semacam ini juga terlihat loh di atas panggung politik. Biasanya, kita melihat para kandidat sebuah kontestasi melakukan upaya untuk mendapatkan resource sebanyak-banyaknya untuk persediaan perang.

Nah, mungkin nih, dalam konteks Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, para bakal calon presiden juga melakukan farming nih. Eits, bukan berarti mereka main Mobile Legends, tapi ini soal bagaimana mereka melakukan “political farming” untuk meningkatkan citra dan popularitasnya.

Mungkin, inilah yang tengah dilakukan oleh Ketua DPR RI Puan Maharani. Baru-baru ini, Puan mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Pukyong National University (PKNU), Korea Selatan (Korsel).

Tentu, atribusi gelar akademik ini bisa menjadi instrumen untuk memoles citra Puan sebagai salah satu bakal capres yang akan diusung oleh PDIP.

Tidak tanggung-tanggung, terlihat sang ibunda yang merupakan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri ikut memberikan semangat dan motivasi, bahkan menantang Puan mengalahkan dirinya dalam hal meraih gelar HC.

Puan Siap Terima Tantangan Mega?

Anyway, praktik pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa sudah berlangsung sejak lama di Indonesia. Bahkan, dalam kasus pendidikan tinggi Indonesia, gelar ini banyak diberikan kepada pejabat publik.

Gelar kehormatan memang kerap kali menimbulkan pertanyaan publik dan sering dinilai mengurangi kesakralan dari gelar akademik tersebut.

Banyak asumsi yang mengaitkan pemberian gelar akademik kepada para politisi ini dianggap sebagai instrumen balas budi, ajang membangun jaringan, serta perjanjian politik.

Nizamuddin Sadiq dalam tulisannya The Conversation berjudul Pemberian Gelar Doktor Kehormatan atau “”Honoris Causa” Rawan Kepentingan Politik memberikan gambaran bahwa praktik ini telah berlangsung lama di Amerika Serikat (AS).

Biasanya, para penerima prioritas gelar adalah seseorang yang merupakan penyumbang uang dalam jumlah besar dan tokoh publik yang dapat memeriahkan acara wisuda.

Data ini dihimpun oleh Priceonomics memperlihatkan kampus-kampus besar yang tergabung dalam Ivy League sering kali memberikan gelar kehormatan secara tidak proporsional.

Data ini menunjukkan pemberian gelar bukan karena pengaruh keilmuan seseorang, melainkan karena popularitas dan hal-hal yang tidak berkaitan dengan keilmuan.

Well, pada akhirnya, tanggung jawab akademik ini menjadi kata kuncinya sehingga gelar doktor kehormatan seharusnya menuntut tanggung jawab, bukan hanya memberi hak pada seseorang.

Seseorang dengan sebutan Doktor tentu memiliki tanggung jawab akademik dan tanggung jawab moral jauh lebih besar dibanding mereka yang belum meraih gelar ini.

Kapasitas keilmuan mereka harusnya tak diragukan, yang mana menjadi jaminan bahwa mereka adalah putra-putra pilihan terbaik yang dimiliki oleh sebuah bangsa.

Semoga saja gelar yang diberikan kepada Ibu Puan menjadi beban untuk terus berkarya. Oleh karena itu, ditunggu farming-farming gelar berikutnya. Eits, maksudnya karya dan sumbangsih berikutnya. Hehehe. (I76)


Deklarasi Terlalu Cepat: Anies Akan Dijegal?
Exit mobile version