“Kalau bahasa Jermannya ini saya termasuk remah-remah rengginang di partai ini, tapi kan boleh dong punya kesukaan. Orang kan punya relawan. Ya, saya relawan lah kira-kira begitu yang mendukung Mbak Puan,” – Johan Budi, Anggota DPR RI Fraksi PDIP
Mendengar ungkapan, “Aku tuh cuma remahan rengginang,” memunculkan pengertian kalau ini adalah bentuk ungkapan merendah. Ini seolah-olah orang yang mengucapkannya sedang ingin berkata, “dia adalah sesuatu yang remeh dan tidak perlu dikenang.”
Sebenarnya, nggak masalah sih jika perkataan tersebut dimaksudkan untuk merendah, bahkan terkesan bagus karena menunjukkan sikap orang Timur yang terkenal rendah hati.
Namun, maknanya akan kontras jika yang dirasakan adalah sebaliknya, yakni ketika kita ucapkan kalimat itu dengan perasaan rendah diri atau merasa insecure. Bukan hanya berbahaya, perasaan ini akan menjadi penghalang untuk kita berlaku kreatif dalam hidup.
Nah, persoalan seperti ini rupanya tidak hanya tampak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam politik, misalnya, ungkapan “remah-remah rengginang” diucapkan oleh Anggota DPR RI Fraksi PDIP Johan Budi.
Sedikit memberikan konteks, peristiwa ini berawal ketika Johan Budi bersama rekan-rekannya membentuk Dewan Kolonel – sebuah gerakan yang bertujuan meningkatkan citra serta elektabilitas Ketua DPR Puan Maharani sebagai calon presiden (capres) potensial di 2024.
Namun, gerakan itu tak berlanjut usai mendapatkan sanksi berupa teguran dari DPP PDIP. Merespons sanksi dan teguran tersebut, akhirnya terlepaslah kalimat “remah-remah rengginang di PDIP”.
Anyway, dalam politik, frasa kiasan yang merupakan bagian dari majas seperti ini rupanya sering digunakan oleh tokoh-tokoh politik.
Ungkapan “Remah-remah Rengginang” mungkin hanya candaan tapi bisa saja punya makna politik. Sebuah ungkapan perasaan seseorang yang sudah bekerja keras tetapi tak pernah dianggap karena bukan siapa-siapa atau orang yang berpengaruh.
Dalam konteks bahasa, ungkapan ini termasuk bagian dari majas litotes dan, layaknya alat perang lainnya, majas juga menjadi salah satu instrumen perang wacana dalam panggung politik.
Ulin Nuha Masruchin dalam bukunya Buku Pintar: Majas, Pantun, dan Puisi menjelaskan bahwa majas litotes adalah ungkapan menyatakan perlawanan dari kenyataan atau realitas sosial. Majas ini biasa digunakan untuk merendahkan diri kepada lawan bicara.
Litotes sebagai salah satu entitas majas – tak cukup paripurna jika hanya diterjemahkan secara leksikal kebahasaan.
Seperti halnya majas-majas lain, semestinya dapat dilihat dari sudut pandang yang lebih luas dan lebih mendalam, yang mana dalam kajian termutakhir dimasukkan kategori analisis wacana kritis.
Di panggung politik Indonesia, ungkapan menggunakan majas pernah diperlihatkan oleh mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Ia pernah mengatakan, “ibarat bayi yang lahir, Anas adalah bayi tidak diharapkan.”
Tidak hanya itu, bahkan dalam setiap fase-fase Anas lengser dari kepemimpinan Partai Demokrat, ia mengibaratkan kalau drama itu layaknya episode dengan banyak bab-bab yang belum ditulis.
Nah, dari sini kita mampu mendapatkan gambaran kalau ungkapan politisi itu rupanya akan terlihat berkelas, jika ia mampu merangkai kalimat dengan indah, mengombinasikan ide atau gagasannya dengan majas untuk menjadi sebuah kalimat.
By the way, muncul pertanyaan, apakah betul Johan Budi sebenarnya hanya remah-remah rengginang? Bukannya mendukung Puan-notabene anak dari Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri- lebih berkelas dari rengginang?
Hmm, Agak ragu sih Dewan Kolonel itu hanya remah-remah rengginang. Pesaingnya Dewan Kopral yang bisa jadi remah-remah rengginang sebenarnya. Kalau Dewan Kolonel lebih cocok disebut kue Red Velvet kali ya? Uppsss. Hehehe. (I76)