“Mbak Puan kok enggak deg-degan? Kenapa deg-degan? Urusan calon presiden itu ada di garis tangan, 270 (juta) orang pengen jadi presiden semua. Yang jadi cuma satu,” – Puan Maharani, Ketua DPR RI
Beberapa waktu lalu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengakui kalau tidak terlalu ambil pusing persoalan calon presiden (capres) yang akan dipilih oleh partainya, yakni PDIP.
Puan mempercayai urusan capres sudah ada di garis tangan. Sebab, mereka terpilih satu dari sekitar 270 juta penduduk Indonesia. Artinya, jika bukan karena garis tangan, hal itu mustahil untuk terjadi.
Puan juga menyebut PDIP merupakan partai besar. Oleh karena itu, tidak mungkin PDIP tidak memiliki stok kader partai yang tak bisa dicalonkan sebagai capres.
Anyway, pernyataan Puan soal garis tangan menjadi perbincangan dan dapat atensi sebagian masyarakat. Ada yang menafsirkan sebagai kiasan. Ada pula yang secara serius memahami kalau Puan percaya garis tangan.
Jika kita menelusuri sejarah pembacaan garis tangan, kita akan dihadapkan dengan istilah chiromancy – atau biasa disebut juga palmistry, yakni sebuah praktik mengevaluasi karakter seseorang atau kehidupan masa depan dengan membaca garis tangan.
Para palm reader, atau pembaca garis tangan, membaca dan menganalisis kepribadian serta perilaku seseorang. Mereka memberikan perkiraan masa depan seseorang berdasarkan perilaku dan kebiasaannya.
Michael Scotts dalam bukunya yang berjudul De Physiognomy menyebutkan bahwa palmistry bukanlah praktik baru dalam masyarakat dunia. Diduga palmistry awalnya dimulai dari negara-negara Timur – kemudian berkembang ke arah Barat yang kemudian dipelajari oleh bangsa Eropa.
Bahkan, diketahui bahwa literatur India dari tahun 2000 SM dan artikel Aristoteles dari tahun 384-322 SM ternyata telah mengenal palmistry.
Di sisi lain, jika kita melirik ke dunia administrasi publik, konon kaisar-kaisar Tiongkok menggunakan sidik jari jempolnya sebagai pengesahan dokumen kerajaan. Sidik jari jempol terjadi sejak ribuan tahun lalu itu kini menjadi cikal-bakal pemakaian sidik jari dalam dokumentasi resmi pemerintahan.
Kemudian, pada abad ke-17, bermunculan berbagai buku tentang palmistry. Namun, buku-buku yang beredar di masa itu lebih berbau mistis, tanpa penjelasan ilmiah. Maka, tak heran jika banyak yang menganggap rendah palmistry.
Namun, jika kita mencoba melihat sisi rasionalisasi dari palmistry, kita dapat melihat kalau praktik ini sebenarnya bukan untuk meramalkan peristiwa di masa depan, melainkan untuk melihat analisa SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats) – yakni sebuah cara untuk mengevaluasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang pernah dihadapi, sedang, atau akan dihadapi seseorang dalam hidupnya.
Nah, kembali ke konteks Puan yang menyerahkan semuanya ke garis tangan, mungkin Puan punya rasionalisasi di balik ungkapan itu. Bisa jadi, ia telah menggunakan analisis SWOT dan percaya jika PDIP nantinya akan memilihnya. Atau, jangan-jangan yang dimaksud Puan itu bukan berharap garis tangan tapi “campur tangan” dari trah Soekarno? Uppsss. Hehehe. (I76)