“Jadi di mana letak kesalahan pernyataan Mbak Puan? Saya melihat tidak ada niat jahat.” – Ahmad Basarah, Ketua DPP PDIP
Public speaking. Terdengar sederhana, terlihat biasa saja, tapi nyatanya memainkan peranan yang sangat penting dalam karier seorang politisi.
Latihan public speaking tertua memang diketahui terjadi di era kejayaan Mesir Kuno. Namun, catatan tertua tentang pentingnya public speaking ditemukan di era Yunani Kuno, sekitar 2000-an tahun lalu. Aristoteles adalah salah satu filsuf yang menekankan pentingnya public speaking dengan aturan dan model tertentu.
Itulah mengapa public speaking sering dianggap sebagai hal yang penting untuk dikuasai, terutama oleh pemimpin dan politisi.
Hal inilah yang kini tengah menerpa politisi PDIP sekaligus Ketua DPR RI Puan Maharani. Buat yang belum tahu, kata-kata Puan yang menyebutkan harapannya agar Provinsi Sumatra Barat bisa mendukung negara Pancasila beberapa waktu lalu dianggap menyinggung perasaan masyarakat Minang.
Bukannya gimana-gimana ya, pesan tersebut bisa dibaca bahwasannya Puan “menuduh” masyarakat Sumbar tak mendukung Pancasila. Padahal, kalau berkaca dari tokoh-tokoh sejarah masa lalu, banyak pendiri negara ini yang berasal dari wilayah tersebut.
Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Agus Salim, Hamka, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh tersebut adalah bagian dari peletak dasar Indonesia sebagai sebuah negara seperti saat ini.
Emang sih, jika berkaca pada penilaian yang dilakukan oleh Setara Institute pada 2018 lalu, kota Padang sebagai ibu kota Sumbar misalnya, berada pada urutan ke-5 dari daftar kota dengan tingkat toleransi terendah di Indonesia. Artinya, memang ada persoalan intoleransi yang cukup tinggi di kota tersebut.
Namun, sebagai pejabat publik dan bahkan pimpinan tertinggi di lembaga legislatif, pernyataan Puan terkait hal ini yang diungkapkannya di hadapan publik, cenderung tidak tepat. Bagaimanapun juga, dengan kondisi negara seperti sekarang ini dan posisi Puan sebagai pejabat publik yang seharusnya bisa membawa semangat persatuan, pernyataannya itu seolah menjadi kritikan atau sindiran terbuka kepada daerah tertentu.
Ini tentu bisa melahirkan percikan ketersinggungan. Bagi Puan dan PDIP sendiri hal ini tentu saja buruk. Kiprah partai merah itu bakal makin tenggelam di Sumatra Barat.
Sayangnya, PDIP justru “menutup mata” terhadap kata-kata Puan dan malah membelanya. Memang, ini menjadi semacam penegasan bahwa posisi politik Puan sangat kuat di internal PDIP, sehingga partai pasti akan membelanya. Namun, pada level kenegaraan, ucapan Puan cenderung kurang tepat.
Kita tidak akan pernah bisa membayangkan tokoh-tokoh negarawan seperti Habibie, atau Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), atau bahkan Presiden Jokowi sendiri menunjuk langsung satu daerah dan menyebutnya intoleran. That would be a risky thing.
Mungkin lebih baik bagi PDIP dan Puan untuk meminta maaf terkait hal ini. Sebab, public speaking yang buruk akan buruk pula pada citra tokoh bersangkutan. Well, di Mesir kuno public speaking sudah diajarkan dan hal tersebut berkontribusi pada kejayaan peradabannya. So, no words needed anymore. (S13)