“Karena dari segi kontribusi terhadap threshold nggak ada. Kemudian juga, PDI Perjuangan juga bisa mengusung sendiri,” – Andreas Hugo Pareira, Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Seperti apa sih rasanya menjadi orang yang tidak dianggap? Pasti yang muncul adalah rasa sedih dan kesal. Mungkin hal yang sama juga terjadi kepada Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Seperti kabar yang beredar belakangan, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Andreas Hugo Pareira, menilai deklarasi PSI mengusung Ganjar Pranowo tidak diperhitungkan oleh PDIP.
Alasannya adalah dukungan PSI tersebut tidak akan berpengaruh pada saat pengambilan keputusan siapa bakal calon presiden (capres) yang akan diajukan PDIP pada Pilpres 2024 mendatang.
Pasalnya, jika dilihat dari segi kontribusi terhadap threshold atau syarat suara partai mencalonkan presiden, PSI jelas tidak punya. Apalagi, saat ini di atas kertas, PDIP bisa mencalonkan presiden tanpa bantuan partai lain.
Hmm, fenomena tidak dianggapnya PSI karena persoalan threshold memperlihatkan kepada kita bahwa nalar partai politik (parpol) sejatinya begitu transaksional. Ada persoalan untung dan rugi yang menjadi ukuran hubungan politik.
Anyway, hal ini seolah-olah memperlihatkan wajah lain dari politik yang cukup identik dengan dunia bisnis karena, dalam urusan bisnis, transaksi adalah hal sangat biasa.
Tawar-menawar harga merupakan bagian dari kehidupan bisnis, terlihat dari aktivitas antar usahawan atau antara penjual dan pembeli. Dalam dunia politik, tawar-menawar politik akhirnya menjadi hal biasa.
Biasanya fenomena ini disebut dengan political bargain, yakni sebuah produk hasil dari sebuah negosiasi politik atau proses politik antara parpol.
Di atas panggung politik, istilah bargaining sering kali diucapkan. Namun, bargaining terkesan negatif karena memiliki pengertian yang mendekati keinginan untuk menguasai.
Namun demikian, bargaining politik adalah sebuah bentuk kerja sama yang mau tidak mau akan dilakukan oleh para pelaku di bidang politik. Persoalannya adalah bentuk bargain seperti apa yang dianggap berharga bagi parpol.
Bargaining politik tidak cukup pada konsep yang sifatnya intangible seperti gagasan maupun dukungan politik, melainkan juga perlu bargain yang bersifat konkret, seperti massa maupun kursi di parlamen.
Jon Elster dalam bukunya Rational Choice menjelaskan bahwa pemilih akan memilih sesuatu yang membawa keuntungan lebih bagi dirinya.
Preferensi pilihan biasanya digambarkan dengan angka yang disebut dengan utility (faedah) atau payoff (bayaran). Keduanya adalah pilihan yang sifatnya konkret dan berdampak langsung.
Dalam konteks PSI yang tidak dianggap PDIP, muncul kesan kalau bargain yang ditawarkan PSI tidak digubris karena dia hanya bersifat dukungan. Apalagi, dukungan ini tentu bertabrakan dengan tujuan besar PDIP.
Sedikit memberikan konteks, PDIP tentu menolak karena punya capres yang sudah dipersiapkan sendiri, yakni Puan Maharani. Dengan munculnya PSI dengan mengusung Ganjar, alih-alih akan digubris, PSI tentu akan ditolak mentah-mentah.
Tentu peristiwa semacam ini menjadi pelajaran bagi PSI, agar ke depannya bisa menjadi partai progresif yang bukan hanya diakui eksistensinya, tapi juga mampu mengubah wajah kepartaian politik di Indonesia.
By the way, sedih juga ya melihat PSI yang sering kali tidak dianggap oleh partai lain. Jadi teringat dengan lagu Pinkan Mambo yang berjudul “Kekasih yang Tak Dianggap” dengan penggalan liriknya yang berbunyi:
Sebagai kekasih yang tak dianggap
Aku hanya bisa mencoba mengalah
Menahan setiap amarah
Sebagai kekasih yang tak dianggap
Aku hanya bisa mencoba bertahan
Kuyakin kau ‘kan berubah
Well, PSI mungkin hanya bisa bersabar dengan harapan parpol lain bisa menanggapinya. Sedih sih, masa Partai Nasdem deklarasi Anies Baswedan, PDIP tanggapi? Eh, giliran PSI deklarasi kader PDIP malah tidak ditanggapi. Uppsss, bukan kompor–in loh ya. Hehehe. (I76)