“Ada beberapa partai mau gabung ke KIB, baik parpol yang ada di Senayan maupun di luar Senayan” – Yandri Susanto, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN)
Baru-baru ini, Ketua Umum (Ketum) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha bersama sejumlah pengurus partai berkunjung ke kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN).
Saat sampai di markas PAN, Giring disambut oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN Eddy Soeparno.
Mulai dari sini saja, sudah muncul pertanyaan. Kok Giring tidak disambut Ketum PAN sekaligus Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas)? Bukankah sebagai ketum harusnya juga disambut oleh ketua umum?
Sedikit memberikan konteks, PSI akhir-akhir ini mulai melakukan manuver politik – mulai dari mendeklarasi calon presiden hingga melakukan kunjungan ke partai-partai lain.
PSI merupakan partai ketiga setelah Gerindra dan NasDem yang secara resmi telah mendeklarasikan capres untuk Pilpres 2024. Wow, keren juga ya sudah sebanding partai-partai besar nih PSI.
Anyway, kunjungan PSI ke PAN seolah berada pada momentum yang tepat, yakni momen ketika sedang hangat-hangatnya wacana Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) – koalisi yang terdiri dari PAN, Golkar dan PPP – ingin merekrut partai lain untuk memperkuat koalisi mereka
Wakil Ketum (Waketum) PAN Yandri Susanto mengungkapkan bahwa kemungkinan ada beberapa parpol yang akan menyatakan ingin bergabung dengan KIB. Salah parpol tersebut, jelas Yandri, merupakan parpol non-parlemen atau yang berada di luar Senayan.
Namun, lagi-lagi yang menjadi pertanyaan, apa bargain politik PSI kepada KIB? Apakah hanya dengan modal sebagai partai yang punya klaim partai anak muda progresif sudah cukup?
Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru menjelaskan budaya politik uang telah menjadi lingkaran setan tidak terputus membuat narasi politik saja tidak cukup dalam electoral politics.
Hal ini mengakibatkan masyarakat mengubah habituasi dan persepsi dalam memahami bahwa pemilu sudah sewajarnya menggunakan politik uang. Oleh karenanya, masyarakat tidak hanya memandang wajar, melainkan juga menanti praktik tersebut.
Kasus PSI ini dapat dimaknai bahwa kekuatan narasi masih belum cukup untuk partai baru dapat lolos di parlemen dan menjadikan hal itu bargain partai. Tampaknya, perlu kekuatan kapital agar sebuah partai seperti PSI bisa eksis selayaknya partai yang saat ini berada di parlemen.
Well, alih-alih dipandang selayaknya kunjungan partai untuk melakukan negosiasi, kunjungan PSI ke PAN ini lebih terlihat seperti partai baru yang sedang melakukan study tour ke partai yang lebih tua. Hehehe. (I76)