Setelah beberapa petinggi PSI memutuskan keluar dari partai, kini giliran Ketua DPW PSI Jakarta Michael Victor Sianipar yang memutuskan keluar. Apakah ini pertanda bahwa PSI bakal berujung jadi partai ‘gagal’?
“Pegang pundakku. Jangan pernah lepaskan bila ku mulai lelah, lelah dan tak bersinar” –
Pernah nggak sih kalian punya rencana besar dengan teman-teman kalian? Pasti tuh, adalah beberapa kesempatan teman-teman lama kalian memiliki rencana untuk bepergian dan berwisata bersama-sama.
Nah, biasanya tuh, ketika ide di-floor-kan di grup percakapan, semua pasti pada setuju dan bilang yes atas ide liburan bersama itu. Namun, semua berubah ketika tanggal berangkatnya semakin mendekat.
Nggak jarang, rencana liburan itu malah hanya menjadi sebatas wacana yang akhirnya terlewatkan begitu saja. Satu per satu, teman-teman kita pun mulai mengabarkan bahwa mereka tidak available atau tidak bisa untuk bisa berangkat.
Begitulah biasanya sebuah ide berakhir. Gagasan besar pun tidak akan berdampak hanya karena tidak semua orang bisa berkomitmen atas ide itu.
Nah, mungkin nih, fenomena “ide yang hanya jadi wacana” ini tidak hanya terjadi pada ide-ide seperti rencana liburan bersama atau rencana reuni sekolah, melainkan juga di berbagai aspek kehidupan lainnya – termasuk dalam politik.
Bisa jadi, inilah yang terjadi dengan PSI saat ini. Gimana nggak? Sudah ada empat pentolan PSI memutuskan keluar dari partai – mulai dari Surya Tjandra, mantan Ketua DPP PSI Tsamara Amany, mantan Sekretaris Dewan Pembina PSI Sunny Tanuwidjaja, hingga, yang terbaru, Ketua DPW PSI DKI Jakarta Michael Victor Sianipar.
Hmm, ada apa nih dengan PSI? Apakah visi PSI untuk menjadi corong suara anak muda di politik akan berakhir hanya sebatas wacana – layaknya wacana liburan atau reuni yang marak berakhir gagal?
Soalnya nih, mengacu pada tulisan Ulla Fionna dan Dirk Tomsa yang berjudul Changing Patterns of Factionalism in Indonesia: From Principle to Patronage, faksionalisme (perpecahan) dalam partai semacam ini bisa saja terjadi akibat infrastruktur organisasi dan nilai programatis yang kurang bisa merekatkan.
Bukan nggak mungkin, ini juga yang akhirnya menyebabkan “perpecahan” di PSI. Apalagi nih, sejumlah eks-kader PSI yang keluar itu sudah menyatakan dukungan untuk Anies Baswedan di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hmm, inikah ujung dari visi anak muda ala PSI? (A43)