“We can only learn from each other” – Majid Jordan, duo penyanyi R&B asal Kanada
PinterPolitik.com
Gengs, beruntunglah bagi manusia memiliki akal sebagai wujud karunia terbesar Tuhan. Dengan akal itu, manusia bisa menghadapi banyak tantangan hidup. Adam – manusia pertama di bumi ya bukan suami dari seorang penyanyi dangdut terkenal – saat menginjakkan kaki di bumi boleh jadi juga kaget dengan kondisinya yang berbeda dengan di surga.
Untunglah Tuhan telah memandu perjalanannya lewat hal yang kadang manusia lupa menyadarinya, yakni akal. Nah, sejalan dengan fitrahnya, akal manusia juga pasti merespons terhadap keadaan seburuk apa pun, misal kala menghadapi wabah.
Kini di tahun 2020, akal manusia sedang diuji nih sama si kecil Covid-19. Coba kita maknai begini deh. Jangan-jangan Covid-19 ini menjadi tolok ukur tentang kecerdasan pejabat dan warga. Selanjutnya coba diamati tentang proses yang dilakukan oleh akal para pemimpin kita.
“Lha kok pemimpin saja. Kenapa tidak fokus juga di masyarakat?” mungkin ada yang tanya ke mimin begini. Ya, sudah, mimin jawab. “Karena sebagaimana kondisi masyarakatnya itu tergantung pada sosok pemimpin-pemimpinnya,” kata makalah kuno.
Oke, mimin lanjutkan. Nah, kasarnya begini, kalau akal pemimpin sudah memilih Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) sebagai solusi paten, bukan berarti kelar urusan, tapi justru tambah besar nih ujian. Pemimpin kudu kerja ekstra memantau jalannya PSBB ini.
Itu mirip dengan analogi seorang pelatih sepak bola. Seorang pelatih yang baik kan bukan dilihat dari pintarnya memilih pemain dan membentuk aturan latihan, tetapi dari cetak biru hasil semua itu.
Sampai sini paham kan, cuy? Itu kalau di sepak bola. Terus bagaimana dalam lapangan pemerintahan? Coba kita simak.
Begini, cuy, setelah berjalan beberapa waktu, ternyata pemerintah merasa jengkel juga dengan virus ini. Lha, gimana? Sudah diberlakukan PSBB, kok masih ada saja sebarannya? Mana PSBB ini banyak memakan lumbung ekonomi negara kan.
Akhirnya nih, pemerintah berencana melonggarkan PSBB. Ya, pasti ada perdebatan. Pemerintah sih tampaknya keukeuhke rencana pilihan ‘cabut PSBB’. Tapi, peneliti dari Pusat Sains Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Sumaryati, memberi ketegasan bahwa PSBB ini harus dilanjutkan.
Nah loh, debat lagi deh. Yaelah, jujur saja, awalnya mimin juga heran sama sikap pemerintah. Apa gak khawatir semakin merebak? Atau sebenarnya pemerintah ini punya motif lain, misal ekonomi? Dan jawabnya agak terang saat mimin simak benar pernyataan Pak Doni Monardo yang bilang begini, “Jadi apabila PSBB ini dicabut, tidak serta merta kita menjadi keluar dari situasi kedaruratan kesehatan.”
Nah, berarti pemerintah dalam urusan ini kan memiliki pertimbangan lain, bukan semata kesehatan saja, tapi juga ekonomi. Kalau begitu, oke, tapi mbok yo pemerintah jangan mencla-mencle.
Sebagai masukan, bisa nih kita melirik Kepala Gugus Tugas AS Dr. Anthony Fauci yang bilang, “Itu akan tergantung pada daerah Anda, sifat wabah yang sudah Anda alami dan ancaman wabah yang mungkin tidak Anda alami.” Nah, ini kuncinya, artinya soal cabut atau tidak mending disesuaikan sama update kondisi daerah yang sudah dibaca menggunakan pendekatan ekonomis.
Jangan semua daerah dipukul rata. Nanti nyesel baru tau rasa, kan?
Daripada bingung antara memilih lebih fokus pada sektor kesehatan atau ekonomi, mending tanya saja sama doi. Ya, mungkin bisa melalui tukar pikiran antara Kepala Gugus Tugas gitu. Kalau kata anak milenial sekarang, sharing is caring. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.