“Seperti judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina,” – penjelasan Pasal 169 huruf j Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu
Tidak terasa, kurang dari dua tahun lagi masyarakat republik ini akan mengadakan pesta demokrasi yang begitu besar, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) dan juga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Sederetan tokoh dan partai politik telah mempersiapkan ancang-ancang untuk meraih kemenangan dengan mengerahkan seluruh sumber daya politiknya.
Tapi, perlu diingat loh, terdapat rules of game yang harus dipatuhi sekaligus dipenuhi, untuk dapat berlaga pada kontestasi politik 2024 mendatang.
Salah satu aturan yang menjadi sorotan adalah larangan kandidat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tidak boleh memiliki riwayat melakukan tindakan tercela.
Nah, dalam Pasal 169 huruf j Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, perbuatan tercela yang dimaksud meliputi judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina.
Persyaratan ini mendapat banyak atensi di berbagai pemberitaan, dan beberapa pihak mengaitkan aturan dengan ajaran agama Islam.
Oh iya, sebenarnya aturan ini mirip dengan konsep “Moh Limo” yang dipopulerkan oleh Sunan Ampel, salah satu Wali Songo, untuk memperbaiki kerusakan akhlak masyarakat Jawa.
Moh limo sendiri terdiri dari (1) Moh Main yang berarti tidak bermain judi, (2) Moh Ngombe tidak meminum yang memabukkan, (3) Moh Maling tidak mencuri barang orang lain.
Selanjutnya, (4) Moh Madat tidak menggunakan barang yang menyebabkan candu, dan terakhir (5) Moh Madat berarti tidak menggunakan barang yang menyebabkan candu.
Anyway, perlu diingat kalau syarat yang berdasar prinsip moral bukan berarti tanpa kritik loh. Sebagian orang mengkritik aturan semacam ini. Mereka bertanya, apakah tidak bermoral berarti tidak kompeten memimpin negara?
Dasar pemikiran semacam ini, tentu akan mengadu dua hal, yaitu antara moralitas dan kemampuan teknis.
Ada pihak yang menilai kemampuan teknis tidak berhubungan terhadap moralitas. Pihak ini melihat pemimpin diperlukan karena dia mampu menyelesaikan persoalan teknis yang dihadapi, bukan persoalan bermoral.
Namun, lagi-lagi kita perlu melihat konteks bangsa kita yang punya keunikan sendiri. Kita tentunya memiliki budaya, agama, dan aturan moral yang terkonstruk di tengah masyarakat.
Sehingga, seringkali pengetahuan teknis kerap terpengaruhi dengan prinsip moral budaya atau agama yang dianut. Dengan asumsi bahwa nilai moral selalu membawa kita ke dalam hal yang baik dan tidak menyesatkan.
Kembali ke konteks persyaratan capres dan cawapres, sekiranya semua persyaratan yang digali dari nilai-nilai budaya dan agama pastilah baik. Meskipun perlu juga mengakomodir kemampuan teknis sebagai penunjang.
Artinya, dua pengetahuan ini, yaitu pengetahuan moralitas yang mumpuni dengan pengetahuan teknis perlu digabungkan, untuk menghasilkan calon pemimpin yang paripurna.
Hmm, jadi fix ya, capres dan cawapres itu haruslah orang yang tidak mabuk, tapi kalau mabuk kekuasaan gimana? Uppss. Hehehe. (I76)