“Pertanyaannya adalah, (kampanye) boleh dilakukan di mana saja? Di mana saja sepanjang ada pemilih, itu boleh kampanye pada prinsipnya, termasuk di dalam kampus, di pondok pesantren, tapi ada catatannya,” – Hasyim Asy’ari, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Baru-baru ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengatakan bahwa kampanye politik boleh dilakukan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi selama memenuhi beberapa ketentuan.
Menurut Hasyim, Undang-Undang (UU) tidak melarang melakukan kampanye di kampus. Yang dilarang adalah menggunakan fasilitas pendidikan untuk berkampanye, bukan aktivitas kampanye.
Sontak pernyataan ketua KPU tuai pro dan kontra karena, pada saat yang sama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) justru memandang sebaliknya. Berkampanye tidak boleh dilakukan di kampus – bahkan Bawaslu mengancam pidana.
Jika kita cermati, pernyataan kedua berbeda secara diametral. Hal ini akan mengganggu proses pemilu kedepannya karena KPU dan Bawaslu selaku lembaga penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) harusnya mempunyai titik kesamaan dalam melihat aturan.
Secara legal, aturan yang membahas persoalan ini ada pada Pasal 280 ayat (h) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum – yang mana tidak melarang peserta Pemilu untuk berkampanye di fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Ini bisa jadi diizinkan jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut kampanye dan juga karena adanya undangan dari pihak penanggung jawab. Bahkan, ada yang menafsirkan kalau bisa dilakukan jika kegiatannya dalam bentuk debat kandidat.
Di luar landasan legal, sebenarnya perlu kita ingat kalau dosen dan mahasiswa yang beraktivitas di kampus merupakan bagian dari pemilih yang tentu ingin mengetahui janji para calon presiden maupun anggota DPR, terutama di bidang akademik.
Hal ini mempertegas kalau kampanye di kampus, dilihat dari segi apapun, ternyata saling berkelindan. Apalagi, kampus diyakini mempunyai posisi strategis sebagai media penyaring calon pemimpin.
Sedikit memberikan konteks sejarah, dalam genealogi politik Indonesia, peran anak muda terdidik dalam membangun bangsa sulit untuk dipisahkan. Tercatat, sejak tahun 1908, para mahasiswa sudah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, mencatat peran besar Mohammad Hatta dan para mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda mendirikan Indische Vereeniging (Perhimpoenan Indonesia) pada 1922 di Belanda.
Bahkan, dalam rentang waktu dari proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga Reformasi 1998 pun, anak muda dan mahasiswa memainkan peran besar dalam terjadinya peristiwa tersebut.
Kembali ke konteks kampanye di kampus, sebenarnya momen kampanye itu dapat juga dijadikan sebagai momen kontrak politik antara calon pemimpin dengan mahasiswa sebagai pemilih.
Uji kualitas peserta pemilih, seperti calon presiden (capres), calon wakil presiden (cawapres), maupun calon legislatif (caleg) di kampus juga sejalan dengan semangat dari tri dharma perguruan tinggi – yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian.
Keistimewaan kampus sebagai suatu institusi adalah sifatnya yang independen, netral, dan inovatif serta kritis terhadap segala bentuk wacana politik kekuasaan dan ketidakberesan sosial yang terjadi di masyarakat.
Anyway, jika penerapan kampanye kampusnya dilakukan secara ideal seperti di atas, maka para peserta Pemilu mungkin bisa dibilang seolah-olah di-ospek oleh mahasiswa.
Bayangkan saja, jika capres seperti Prabowo Subianto yang mempunyai latar belakang militer dan juga pernah berada di Komando Pasukan Khusus (Kopassus) toh akhirnya digembleng lagi di kampus oleh mahasiswa.
Hmm, jadi ingat pernyataan, “kalau mahasiswa takut dosen, dosen takut rektor, rektor takut menteri, menteri takut presiden, tapi presiden takutnya ke mahasiswa.” Kan mahasiswa punya sejarah turunin presiden dari jabatannya. Hehehe. (I76)