“Analisa-analisa politik kadang-kadang banyak juga yang tidak rasional. Artinya begini, menggandengkan Prabowo dengan Puan, orang lupa, ibu-nya Puan aja dengan Prabowo kalah”. – Panda Nababan, Politisi PDIP
Baru-baru ini, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP, Panda Nababan seorang mengeluarkan pernyataan yang cukup mengagetkan. Ia berpandangan bahwa rencana duet Prabowo Subianto dengan Puan Maharani di 2024 berpotensi menuai hasil buruk.
Hal ini bersandar pada pengalamannya ketika mengusung Megawati Soekarnoputri, yang juga merupakan ibu dari Puan. Mega kala itu akhirnya kalah di Pilpres 2009 saat berpasangan dengan Prabowo. Oleh karena itu, pengalaman ini dapat menjadi bahan evaluasi berharga bagi PDIP untuk menyusun ulang strategi dalam menghadapi Pilpres 2024 nanti.
Jika diamati, sikap antisipasi Panda ini merupakan hal yang lumrah dalam pendekatan psikologi politik. Umumnya perilaku aktor politik cenderung memperkirakan sesuatu yang terburuk akan terjadi. Kondisi ini disebut dengan catastrophic thinking.
Direktur Eksekutif Psychological and Educational Services Ron Breazeale mengatakan bahwa catastrophic thinking membuat seseorang memikirkan skenario terburuk secara tidak rasional untuk membuat argumentasi yang terkesan rasional saat dipaparkan.
Sedikit memberikan konteks, wacana memasangkan Prabowo dengan Puan muncul usai pertemuan Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan Prabowo Subianto di Istana pada November 2021.
Bahkan, pertemuan tersebut dianggap memperkuat sinyal bahwa Puan akan menjadi cawapres Prabowo di 2024, seolah format Prabowo-Puan ini merupakan takdir dari perjanjian politik yang pernah dibuat oleh Megawati dengan Prabowo.
Jika ditarik lagi ke belakang, publik mungkin ingat perjanjian Batu Tulis di mana pada Pilpres 2009 Prabowo bersedia menjadi wakil Megawati dengan syarat harus didukung pada Pilpres 2014. Namun, kita semua mengetahui di tahun 2014, PDIP mengusung Jokowi. Well, artinya memang ada pengkhianatan di sana.
Tapi, kalau dipikir-pikir, emang Prabowo mau lagi untuk berpasangan dengan Puan? Bukankah telah terjadi pengkhianat terhadap Prabowo, yang secara logika juga berpengaruh terhadap penilaian moralitas untuk mengambil keputusan?
Terlepas dari hasil yang diprediksi oleh Panda di atas, perlu kebesaran hati seorang Prabowo jika benar-benar ingin menerima Puan menjadi pasangan pada Pilpres 2024 nanti. Apalagi, perlu diingat, dalam politik sering kali moralitas tidak menjadi faktor penentu pengambilan keputusan.
Politik terlepas dari penilaian moral ini dan bahwa politik digunakan untuk sepenuhnya melayani tujuan dari politik itu sendiri sebenarnya mirip dengan perdebatan yang ada di dunia seni. Ada ungkapan Latin yang berbunyi “ars gratia artis”. Ini berarti seni haruslah diupayakan untuk pemenuhan tujuan seni itu sendiri, yaitu ekspresi dan keindahan. Konsep ini kemudian membebaskan seni dari perjuangan moral dalam masyarakat. Seni haruslah ditujukan untuk melayani seni itu sendiri.
Konsep ini juga diperkenalkan di Perancis pada abad ke-19, dengan slogan “l’art pour l’art” yang bermakna seni untuk seni. Frasa ini punya makna perlawanan terhadap kelompok seniman beraliran Sosialis-Marxis, yang menuntut nilai seni untuk melayani moral.
Anyway, mungkin hal yang serupa ini juga bisa direfleksikan dalam dunia politik. Pada akhirnya politik memang hanya akan ada untuk melayani politik itu sendiri. Jadi, persoalan moral dan yang lainnya bisa saja disingkirkan dari politik. Ujung-ujungnya memang seperti yang kerap disampaikan oleh Machiavelli: “The end justifies the means”. Tujuan akhir membenarkan cara.
Well, kembali ke konteks Prabowo-Puan, menarik untuk ditunggu apakah pasangan ini bisa menghasilkan ujung akhir kemenangan yang membuat mereka mengabaikan proses atau luka lama yang membekas dari era Perjanjian Batu Tulis. Gimana nih Pak Prabowo? Berani berjudi lagi nggak? Hehehe. (I76)