“Saya kira itu spontanitas Pak Prabowo karena itu lagu rakyat, lagunya kebanyakan orang Indonesia masa kini” – Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra
Perayaan HUT ke-77 RI di Istana Negara tahun ini sedikit berbeda, hal ini tentunya karena adanya momen Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang berjoget di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat perayaan tersebut.
Terlihat Prabowo berjoget saat penyanyi cilik Farel Prayoga tampil menyanyikan lagu campursari yang tengah naik daun berjudul “Ojo Dibandingke”.
Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra itu memberikan penjelasan bahwa Presiden Jokowi sudah mengizinkan para menteri untuk turun dari area mimbar kehormatan untuk ikut berjoget bersama. Prabowo sempat juga mengungkapkan ini adalah pengalaman pertamanya.
Sontak, warganet banyak berspekulasi soal joget Prabowo ini. Banyak yang menafsirkan bahwa joget depan Jokowi merupakan simbol restu politik yang telah diraih oleh Prabowo sebagai kandidat yang diusung pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Spekulasi publik ini sebenarnya punya dasar loh. Coba kita lihat jejak digital beberapa waktu lalu ketika Prabowo mengungkapkan akan mencalonkan diri menjadi presiden jika mendapat izin dari Jokowi.
Tentunya, peristiwa itu dikaitkan dengan pernyataan Prabowo yang akan maju sebagai calon presiden (capres) pada tanggal 12 Agustus 2022 setelah didesak oleh 34 dewan pimpinan daerah (DPD) Partai Gerindra se-Indonesia.
Meskipun narasi mendapat izin Jokowi ini ditepis oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra Ahmad Muzani. Ia justru menafsirkan bahwa joget Prabowo adalah tindakan spontanitas dan bukan merupakan bentuk endorsement Jokowi kepada Prabowo.
Anyway, kalau memang tidak ada apa-apa di balik joget Pak Prabowo, kenapa harus ada klarifikasi langsung dari Sekjen Gerindra?
Peristiwa ini sebenarnya ingin mempertegas adanya budaya politik yang sensitif terkait restu politik, di mana masyarakat kita masih terikat pada asumsi bahwa suksesi politik yang baik haruslah mendapat restu dari pemimpin sebelumnya.
Benedict Anderson dalam bukunya The Idea of Power in Javanese Culture: From the book Culture and Politics in Indonesia mengatakan bahwa persoalan suksesi yang dimaksud bukan hanya terkait pergantian kekuasaan semata, melainkan juga legitimasi yang hadir dalam suksesi.
Dalam tataran elite, restu politik ini sering diperlihatkan secara simbolik pada acara-acara tertentu. Bahkan, peristiwa pemberian restu politik ini sering ditunggu-tunggu oleh kalangan akar rumput.
Pada konteks politik Indonesia modern, sisa-sisa budaya politik ini dapat kita lihat dari fenomena para relawan yang menarasikan dukungan kandidatnya sebagai penerus Jokowi.
Hmm, agak aneh sih. Pak Prabowo di momen kemerdekaan kok masih belum merdeka untuk menentukan pilihan. Alih-alih merdeka dan bebas untuk nyalon jadi kandidat presiden, untuk joget saja harus minta izin Pak Jokowi. Uppss. Hehehe. (I76)