Insiden kebakaran Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara (Jakut), masih menyisakan banyak tanya. Bahkan, perdebatan di media sosial (medsos) mengarah pada persoalan siapa sosok yang dianggap lebih bertanggungjawab, yakni antara Joko Widodo (Jokowi) dan Anies Baswedan yang sama-sama pernah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
“Salahmu. Salahmu. Enak aja, salahmu” – Project Pop, “Maramaramara” (2008)
Siapa nih dari kalian yang anak kelahiran ’90-an dan 2000-an? Pasti masih ingat tuh dengan lagu-lagu karya Project Pop.
Gimana nggak? Grup musik satu ini bisa dibilang adalah salah satu musisi yang paling unik pada masanya – mungkin juga hingga kini. Dengan lirik dan musik berbeda dari yang lain, Project Pop menjadi musisi yang stand-out pada masanya.
Andalan mereka adalah lirik dan tema lagu yang erat dengan kehidupan – dan tragedi – sehari-hari. Salah satu contohnya adalah lagu “Maramaramara” (2008) yang dikutip di awal tulisan.
Lagu itu ngegambarin gimana pertengkeran di antara dua pihak semakin tidak berujung bila ego masing-masing makin dikedepankan tuh. Sampai-sampai tuh, di lirik lagu itu, para anggota Project Pop saling menyalahkan dan saling menyuruh pihak lainnya untuk minta maaf.
Ya, itulah namanya ego. Kalau ego dan keinginan untuk menang sendiri menguasai, persoalan pun tidak akan pernah usai.
Situasi inilah yang mungkin terjadi di dunia politik – khususnya terkait insiden kebakaran Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara (Jakut), yang menelan 17 korban jiwa dan banyak korban luka bakar.
Gimana nggak? Belum usai masa duka yang ditimbulkan akibat insiden tersebut, perdebatan politik sudah langsung mendidih duluan di media sosial (medsos). Perdebatan yang terjadi adalah soal siapa sosok mantan Gubernur DKI Jakarta yang harusnya lebih bertanggung jawab – yakni antara Joko Widodo (Jokowi) dan Anies Baswedan.
Pasalnya, korban dari insiden kebakaran tersebut adalah warga Kampung Tanah Merah yang disebut-sebut merupakan tanah ilegal. Namun, meski ilegal, sejumlah warga memang sudah mendirikan bangunan di sana.
Akibatnya, ini sempat menjadi persoalan politik. Pada tahun 2012, misalnya, Joko Widodo (Jokowi) yang saat itu masih menjadi calon gubernur (cagub) DKI Jakarta menandatangani sebuah kontrak politik dengan warga – yang mana di dalamnya ada salah satu poin yang membahas soal legalisasi penggunaan lahan dan sertifikat hak milik.
Kontrak ini pun berlanjut pada pemberian kartu tanda penduduk (KTP) sebanyak 1.665 dan kartu keluarga (KK) sebanyak 715 bagi warga yang tinggal di kawasan tersebut. Namun, Pak Jokowi juga bilang kalau pemberian KTP bukanlah dasar untuk mengklaim tanah.
Nggak hanya Jokowi, Pak Anies juga menandatangani kontrak politik pada tahun 2016 silam dengan warga Kampung Tanah Merah. Pak Anies akhirnya menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) bagi kawasan itu – tanpa dasar kepemilikan lahan.
Hmm, kalau mau objektif nih ya, semua pasti punya peran masing-masing untuk mengakomodasi kepentingan warga Kampung Tanah Merah. Ya, semuanya ingin bisa mencari jalan tengah atas masalah sengketa tanah antara warga dan Pertamina tersebut.
Yang jadi masalah sekarang justru adalah bagaimana bencana ini akhirnya malah menjadi komoditas politik – menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Kalau kata Pak E. Hörhager di tulisannya yang berjudul Political Implications of Natural Disasters: Regime Consolidation and Political Contestation, bencana dan insiden semacam ini kerap mengalami politisasi untuk tujuan-tujuan politik tertentu.
Instead of saling menyalahkan, mending memikirkan bagaimana caranya agar bencana ini tidak terjadi lagi di masa depan – mulai dari kebijakan kontrol hingga manajemen risiko. Kalau gitu, kan, penyelesaian jadi lebih efektif.
Kalau saling menyalahkan tapi emang sama-sama punya peran masing-masing, ya marah-marahan ala lagu Project Pop di awal tulisan tadi pasti juga nggak bakal berujung tuh. Lagu Project Pop aja ditutup dengan lirik yang berbunyi, “Maramaramara itu nggak perlu. Udahan marahnya. Cepetan dong cepetan.” Kalau kalian, kapan tuh udahan maramaramara-nya? (A43)