“Presiden itu kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, maka sikapnya harus sebagai negarawan, bukan politisi semata. Apalagi menjadi supporter kandidat, itu tidak baik,” – Muhammad Kholid, Juru Bicara (Jubir) Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Mungkin kita sering bertanya, kenapa pemimpin yang mempunyai sifat negarawan seolah-olah menjadi harapan setiap orang. Terlebih dalam panggung politik, pemimpin negarawan menjadi barang mahal yang sulit ditemukan.
Istilah negarawan muncul kembali, ketika Juru Bicara (Jubir) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid, memberikan penilaian tentang sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat memberi sinyal Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi penerusnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Kader PKS ini menilai seorang Presiden tidak mesti terlalu jauh ikut dalam meramaikan bursa pencapresan. Bagi Kholid, sikap kepala negara harus sebagai negarawan, bukan menjadi pendukung kandidat.
Anyway, pertarungan istilah negarawan dan pendukung kandidat atau dapat kita sebut dengan istilah politisi, bukanlah hal yang baru. Negarawan selalu mempunyai tempat yang lebih tinggi dibandingkan politisi. Kok bisa ya?
Samsul Nizar dalam tulisannya Negarawan Versus Politikus, mencoba memotret jarak antara negarawan dan politisi dalam pandangan ilmu sosial dan politik.
Bagi Nizar, secara substansi, tipikal sosok pemimpin yang berkarakter negarawan memiliki sifat mengayomi dan memikirkan masa depan bangsa, serta punya visi lebih jauh tentang generasi bangsa yang akan datang.
Seorang negarawan memiliki idealisme yang kokoh. Kehadirannya bagai seorang “ayah” mengantarkannya menjadi sosok yang bijaksana dan berpikir visioner.
Meletakkan profesionalisme dan moral sebagai standar utama. Kebijakannya berangkat dari kepentingan kolektif rakyat dan meminimalkan dominasi kepentingan kolegial yang bersumber kepentingan dan dorongan kelompok.
Berbeda dengan tipikal politisi yang sudah terlanjur punya makna peyoratif, karena dianggap hanya memikirkan kepentingan sesaat demi tercapainya tujuan pribadi dan komunitas yang terbatas.
Meminjam istilah Ahmad Syafii Ma’arif, yakni “politisi rabun ayam”, politisi hanya melihat sesuatu yang berada di depan mata dengan jarak pendek, tapi tak mampu melihat sesuatu yang jauh ke depan.
Pada titik ini, kritik PKS sekiranya bisa menjadi bahan evaluasi agar Jokowi lebih berhati-hati dalam bersikap atau melontarkan pernyataan, karena hampir semua mata akan memperhatikannya.
Harapannya, tindak tanduk yang dilakukan Presiden Jokowi berasal dari sebuah pemikiran dan pertimbangan yang matang. Kematangan pemikiran itu terlihat dari pandangannya yang jauh ke depan untuk membangun kecemerlangan peradaban, tidak sebatas dukungan pada Pilpres 2024. Uppsss. Hehehe. (I76)